Biografi Dietrich Bonhoeffer, Pemikir Teologi dan Pendeta Protestan Penentang Adolf Hitler

Biografi Dietrich Bonhoeffer

Biografi Dietrich Bonhoeffer, Pemikir Teologi dan Pendeta Protestan Penentang Adolf Hitler – Sejak Adolf Hitler dengan Partai Nazinya berkuasa, banyak berbagai kebijakannya yang merugikan warga Jerman, terutama kaum Yahudi. Atas kebijakannya yang merugikan dan gaya kepemimpinannya yang otoriter. Telah banyak membuat warga menjadi sengsara dan menderita. Maka tidak heran jika berbagai protes dan pemberontakan pun banyak bermunculan di mana-mana. Dari yang mulai dilakukan oleh para aktivis mahasiswa, kaum pemberontak sayap kiri, hingga para tokoh agamawan. Salah satu tokoh agamawan yang menentang rezim Adolf Hitler adalah pendeta Protestan bernama Dietrich Bonhoeffer. Berikkut biografi dari Dietrich Bonhoeffer.

Biografi Dietrich Bonhoeffer

Kehidupan Awal

Dietrich Bonhoeffer dilahirkan pada tanggal 4 Februari 1906 di Breslau, Jerman. Kota itu kini masuk wilayah Polandia. Dietrich Bonhoeffer lahir dari keluarga akademis yang liberal. Ayahnya seorang guru besar di bidang psikiatri dan seorang agnostik. Di antara semua sanak saudara dalam keluarga Bonhoeffer, Dietrich merupakan anak yang paling cerdas. 

Pada tahun 1923 saat berusia 17 tahun, Dietrich Bonhoeffer masuk Universitas Tubingen. Tetapi, ia tidak bertahan lama di universitas tersebut. Tahun berikutnya, ia masuk Universitas Berlin dan belajar teologi, di bawah asuhan dua orang teolog besar, yakni Adolf von Harnack dan Reinhold Seeberg. 

Tepat pada usia 21 tahun, Dietrich Bonhoeffer berhasil menyelesaikan pendidikan teologinya. Setelah menyelesaikan studinya di Berlin, Dietrich Bonhoeffer diangkat menjadi Vikaris di Barcelona, Spanyol, menggembalakan jemaat Lutheran berbahasa Jerman. Selesai bertugas di Barcelona, pada tahun 1929, ia kembali ke Berlin dan menjadi pendeta mahasiswa di sekolah tinggi teknik serta menjadi dosen. Di samping sebagai dosen, Dietrich Bonhoeffer juga aktif di berbagai organisasi. Sehingga dipercaya menjadi sekretaris pemuda dari World Alliance of Reformed Churches. 

Dietrich Bonhoeffer adalah pengagum Mahatma Gandhi. Dalam surat dan pidatonya, Dietrich Bonhoeffer selalu bicara mengenai perdamaian seperti, “menderita lebih baik daripada hidup dengan menggunakan kekerasan” (Assa, 2021). 

Pemikiran Teologis Dietrich Bonhoeffer terhadap Nazi Jerman

Pada pemilihan umum tahun 1931, partai sayap kiri kalah oleh Partai Nazi yang dipimpin Adolf Hitler. Kebanyakan pemimpin gereja di Jerman mendukung Adolf Hitler. Saat Partai Nazi berkuasa, Dietrich Bonhoeffer mulai merasakan ada yang tidak baik atas kepemimpinan Adolf Hitler. Sebab sesaat Hitler memimpin, ia langsung mengusulkan untuk membagi gereja menjadi dua, yakni Deutch Christian (orang Kristen Jerman) yang mendukung Nazi dan Bekennende Kirche (gereja yang mengaku) yang menolak Adolf Hitler. 

Bagi Dietrich kebijakan ini dapat menyebabkan perpecahan di dalam gereja Jerman. Oleh karena itu, Dietrich sangat-sangat mengecam Fuhrer Prinzip Nazi (prinsip kepemimpinan Nazi). Sebab menurut Dietrich apa yang dilakukan oleh Hitler dan Nazinya bukanlah perjuangan yang murni untuk kejayaan negara Jerman, melainkan untuk kesombongan dan kebesaran ras Jerman dengan menghancurkan gereja (Assa, 2021). 

Meski Dietrich Bonhoeffer seorang yang menganut prinsip cinta damai, tetapi dengan naiknya Hitler ke tampuk kekuasaan sebagai pemimpin yang otoriter. Dietrich lebih memilih mengambil jalan perlawanan dengan rezim Hitler yang sedang berkuasa. Bagi Dietrich, seorang yang sangat beriman dalam keagamaannya menyadari bahwa keyakinan atau iman tidak hanya dibatasi dalam ranah agama melainkan harus masuk ke dalam ranah politik. 

Orang Kristen yang beriman jangan larut dalam keyakinan, kenyamanan, dan kesalehan pribadi. Tetapi harus ditransformasikan dalam kehidupan manusia yang lebih luas. Dalam kehidupan yang sekuler, kehidupan Kristen harus dihayati secara menyeluruh, yakni dengan keluar sebagai orang yang membawa terang dunia. Sebagaimana ia mengomentari khotbah Yesus di atas bukit dengan menegaskan, “the disciples, then, must not only think of heaven; they have an earthly task as well” (Prasetyantha, 2017)

Dietrich menegaskan bahwa setiap orang beriman jangan hanya memikirkan tentang surga, melainkan harus berpikir untuk bisa menjadi orang yang bermanfaat, kuat, dan penerang dunia. Dalam konteks zaman Nazi. Dietrich mengajak generasi muda untuk tidak terbuai dengan hal-hal yang sakral. Tetapi harus tetap peduli dengan urusan yang profan. Termasuk dalam menggulingkan rezim Hitler. Bahkan lebih jauh, Dietrich berpendapat bahwa gereja-gereja yang ada saat itu sudah terjebak pada kenyamanan. 

Maka tidak heran jika gereja tidak berani untuk menyatakan kesalahan terhadap Hitler, karena Hitler sendiri tidak mengusik kenyamanan di gereja. Kenyataan ini dianggap oleh Dietrich sebagai anugerah murahan. Padahal sejatinya Yesus Kristus bukan memberikan anugerah yang murah tetapi anugerah yang mahal. Anugerah yang mahal menuntut setiap orang untuk mengikuti Yesus dalam keprihatinan dan perjuangan. 

Dengan demikian setiap orang Kristen tidak boleh memikirkan dirinya sendiri atau terjebak pada kenyamanan. Melainkan harus berani melawan pemerintah yang salah. Gereja tidak boleh tinggal diam atau takut melawan kehendak Hitler jika memang tidak sesuai dengan firman Tuhan (Bangun, 2013). Di sini secara tidak langsung Dietrich Bonhoeffer tengah membicarakan bahwa gereja jangan “asyik” dengan keselamatan pribadinya saja. Ia menyarankan kekristenan untuk ikut serta menderita bagi sesama manusia (Doludea, 2023). 

Gereja harus bisa bergerak konkret dalam menahan laju berbagai kerusakan di muka bumi, termasuk terhadap rezim Adolf Hitler yang sewenang-wenang terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Apa yang direfleksikan oleh pemikiran Dietrich sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Gus Dur. Menurut Gus Dur agama bukan saja soal kesalehan individual semata, melainkan kesalehan sosial di mana keimanan harus ditransformasikan dalam sebuah keprihatinan sosial sehingga mampu menjadi langkah dalam menciptakan keadilan sosial. 

Di akhir hidupnya, pada tanggal 8 April 1945 Dietrich Bonhoeffer dijatuhi hukuman mati oleh pihak Nazi tanpa proses pengadilan. Sebab ia dituduh melakukan percobaan pembunuhan terhadap Adolf Hitler.

Demikianlah biografi dari seorang Dietrich Bonhoeffer, semoga bermanfaat.

Referensi:

Assa, R. (2021). Tokoh-tokoh Kristen yang mewarnai dunia. PBMR ANDI.
Bangun, C. (2013, Juni 15). Dietrich Bonhoeffer. Bulletin Pillar. https://www.buletinpillar.org/kehidupan-kristen/dietrich-bonhoeffer.
Doludea, T. (2023, Januari 10). Dari tiang gantungan sampai martir: Etika Dietrich Bonhoeffer. Borobudurwriters.id. https://borobudurwriters.id/kolom/dari-tiang-gantungan-sampai-martir-etika-dietrich-bonhoeffer/
Prasetyantha, Y. B. (2017). Refleksi teologis Dietrich Bonhoeffer melawan sepak terjang Nazi-Hitler. Jurnal Orientasi Baru, 26(2), 167-182.

Editor: Firmansah Surya Khoir
Visual Designer: Al Afghani

Bagikan di:

Artikel dari Penulis