Kiai Sudja dan Klinik Penolong: Manifestasi Ajaran KH. Ahmad Dahlan – “Mengapa surat ini diulang berkali kali, Yai?”
“Apakah sudah dimengerti maksudnya? Apakah sudah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari?”
Begitulah kira-kira dialog Kiai Sudja dengan K.H. Ahmad Dahlan, sebagaimana dikutip Imron Mustofa dari HM Nasruddin Ansory.
Kiai Sudja, salah satu murid Ahmad Dahlan, banyak memberikan kesaksian tentang kehidupan gurunya. Dalam buku biografi K.H. Ahmad Dahlan si Penyantun yang ditulis oleh Imron Mustofa, ia dikenal karena pertanyaannya tentang surat Al-Maun yang terus diulang-ulang oleh sang guru. Namun, bukan hanya pertanyaannya yang membuatnya dikenang. Kiai Sudja juga berperan penting dalam Muhammadiyah, terutama dalam pemikiran tentang kesejahteraan sosial dan kesehatan. Pengaruh ajaran Ahmad Dahlan, khususnya mengenai surat Al-Maun, terlihat jelas dalam kiprahnya.
Menurut catatan Muhammadiyah.or.id, Kiai Sudja adalah pencetus ide Klinik Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) pada 15 Februari 1923. Pertemuannya dengan dr. Soetomo menunjukkan bahwa ia telah mempersiapkan sebuah balai kesehatan Muhammadiyah yang dinamakan PKU.
Pada masa Hindia-Belanda, PKU menjadi salah satu fasilitas kesehatan pribumi yang dibangun dengan sistem yang modern. Klinik ini merupakan salah satu wujud nyata dari ide pemuliaan martabat manusia yang berakar pada teologi Al-Maun.
Lahir dan Besar di Kauman: Jejak Awal Pemikiran
Kauman pada masa itu merupakan jantung Kota Yogyakarta, terletak di sebelah barat Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta. Usianya hampir sama dengan usia Keraton Yogyakarta. Imron, mengutip G.F. Pijper, menggambarkan Kauman sebagai kampung yang religius. Menurutnya, masyarakat Kauman sebagian besar adalah pedagang, khususnya pedagang kain batik. Selain itu, Kauman juga dihuni oleh guru-guru agama, imam, khatib, muadzin, dan pegawai masjid lainnya.
Menurut Imron, berdasarkan ketentuan lama Kesultanan, Kauman hanya boleh ditinggali oleh pemeluk Islam saja. Permainan gamelan dan tarian taledek pun dilarang. Saat bulan suci Ramadan, tak ada seorang pun berani makan, minum, atau merokok di tempat umum. Jika terdapat orang yang tidak menunaikan kewajibannya saat Ramadan, mereka dipersilakan untuk meninggalkan Kauman.
Kauman di sore hari dipenuhi dengan suara lantunan Al-Qur’an. Saat menjelang Magrib, kita akan menjumpai laki-laki (bersarung) dan perempuan (mengenakan mukena) yang pergi ke Masjid Gede. Di kampung yang diliputi nuansa religius ini, lahir tokoh-tokoh besar Islam yang memperjuangkan agama, termasuk guru Kiai Sudja, K.H. Ahmad Dahlan.
Baca juga: Biografi Ahmad Dahlan, Sang Pendiri Muhammadiyah
Teologi Al-Maun dan Perjuangan Sosial Kiai Sudja
Bunyi arti dari surat Al-Maun:
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang-orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka, celakalah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang yang berbuat riya’, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al-Maa’uun [107]:1-7).
Menurut Imron yang mengutip Mohammad Damimi, K.H. Ahmad Dahlan menafsirkan surat Al-Maun bukan hanya sebatas “mengaji” seperti di pondok pesantren—membaca, menerjemahkan, dan menghafalkan ayat—yang didorong oleh semangat thalabul ‘ilmi (mencari ilmu) dan thalabul jaza’ (mencari pahala). Lebih dari itu, K.H. Ahmad Dahlan telah sampai pada tahap “mengkaji”, memahami maknanya secara mendalam dan mengamalkannya langsung dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai bentuk pengamalan Al-Maun, Kiai Sudja memiliki mimpi untuk mendirikan rumah sakit. Mimpi tersebut disampaikan secara jelas kepada K.H. Ahmad Dahlan dan pengurus Muhammadiyah lainnya. Meski awalnya mimpi Sudja ditertawakan, ia berhasil membuktikannya, dan hingga kini ide Sudja masih digunakan dan dilanjutkan oleh Muhammadiyah. Kini, Muhammadiyah memiliki 130 rumah sakit. Warisan pemikirannya terus hidup, membuktikan bahwa amalan Al-Maun tetap berjalan meski Sudja telah tiada.
Kiai Sudja dan Peran dalam Penyelenggaraan Haji
Dalam sebuah koran berjudul Voorbereiding voor Hadjivraat (1952), diberitakan tentang panitia haji Indonesia yang dihadiri oleh Haji Sudja. Surat kabar tersebut berbunyi:
De voorzitter van de Panitia Hadji Indonesia, Hadji Sudja, is vergezeld van het parlementsid Idham Chalid per KLM naar Arabie vertrokken om besprekingen te voeren de voorbereidingen voor Hadjivart uit Indonesie dit jaar. Hadji Sudja zal ongeveer 15 dagen wegblijven.
Terjemahan:
“Presiden Komite Haji Indonesia, Haji Sudja, didampingi anggota parlemen Idham Chalid, bertolak ke Arab dengan pesawat KLM untuk mengadakan pembicaraan mengenai persiapan penyelenggaraan haji dari Indonesia tahun ini. Haji Sudja akan menghabiskan waktu sekitar 15 hari.”
Baca juga: Perjuangan Nyai Ahmad Dahlan: Islam Moderat dan Emansipasi Perempuan
Selain gagasan besarnya dalam mendirikan rumah sakit, Kiai Sudja juga berjibaku dalam lembaga haji yang bernama Yayasan Perjalanan Haji (PHI). Mengutip Fuad Nasar, yayasan ini merupakan badan hukum Islam yang berdiri pada 21 Januari 1950. Ketua yayasan ini adalah K.H. M. Sudja’, dengan Wakil Ketua K.H. A. Wahab Chasbullah, Muhammad Sjaubani sebagai sekretaris, Abdul Manaf sebagai bendahara. Yayasan ini juga dibantu oleh tokoh-tokoh seperti Ki Bagus Hadikusumo, H.M. Muljadi Djojomartono, dan K.H. Moh. Dachlan. Bisa dikatakan, peran warga Muhammadiyah dalam diaspora terus bertahan hingga kini melalui kader-kadernya.
Sejarah membuktikan bahwa pengaruh Kiai Sudja tidak hanya terbatas pada masanya. Semangatnya dalam mengamalkan nilai-nilai Al-Maun dan kontribusinya bagi Muhammadiyah menjadi warisan yang terus hidup. Sosoknya mengajarkan bahwa keikhlasan dan tindakan nyata mampu menciptakan perubahan besar yang bertahan lintas generasi.
Referensi
Mustofa, I. (2018). KH. Ahmad Dahlan SI Penyantun. (Nurr, Ed.) Yogyakarta: DIVA Press. Retrieved January 20, 2025
Surat Kabar: