Baca Buku di Warkop: Gerakan Populis yang Tak Perlu Estetika – Semangat literasi yang kini mulai merebak, khususnya di kalangan muda-mudi, haruslah dirawat sebaik mungkin dan jangan sampai keluar rel. Itulah cita-cita puncaknya. Namun, sayang seribu sayang, marwahnya belakangan ini justru dikorting sedemikian rupa.
Gejala dalam dunia literasi yang kentara ini jelas meresahkan. Saya memandang fenomena menjamurnya (sejumlah) komunitas baca kekinian condong kepada persoalan yang jauh dari substansi awal. Karakter gerakannya tampak seperti hendak menggiring orang ke puncak menara gading saja.
Gerakan literasi kekinian malah terjebak dalam sikap yang cenderung eksklusif, terkesan elitis, dan menjurus pada komersialisasi. Padahal, kampanye unggulannya masih sama: baca buku bisa dilakukan kapan pun, di mana pun, dan dengan siapa pun. Tapi, kiprahnya malah terombang-ambing di tengah budaya FOMO yang berlangsung dalam tempo singkat.
Arena Pertarungan Estetika
Semuanya bermula ketika saya iseng-iseng mencari komunitas baca yang mempunyai agenda rutin melalui media sosial. Dari pengembaraan itu, bertemulah saya dengan sejumlah konten—foto atau video pendek—yang memuat seluk-beluk kegiatan membaca buku. Namun, aduhai, aktivitas luhur ini hanya ditonjolkan sebatas memburu nilai estetik belaka. Ini ibarat arang habis, besi binasa.
Baca juga: Membaca adalah Sebuah Keterampilan, Harus Diasah Biar Gak Jadi Bebal
Konten yang paling sering terlihat—dalam algoritma saya—ialah penampakan buku (biasanya novel), secangkir kopi dengan latte art yang belum diaduk, serta gawai yang tengah memutar playlist bernada sendu dan berbahasa enggres.
Unsur-unsur itu pun adakalanya diperkaya oleh keberadaan vas bunga dan meja kayu artistik berwarna cokelat tua. Kalau sudah begitu, biasanya konten diakhiri dengan caption berisi quotes menawan dari para pesohor. Kira-kira, itulah stereotipe yang sejauh ini saya amati.
Masalahnya, berapa kocek yang terpaksa dirogoh untuk memenuhi semua nilai “keindahan” itu? Yang jelas, pecahan 50.000 rupiah sudah pasti lenyap dari dompet. Ujung-ujungnya, ya, komersialisasi. Engagement dan AdSense jadi tolok ukur. Kalau mujur, sang kreator bisa balik modal dari hasil kontennya. Jika tidak, bagaimana?
Yang mesti digarisbawahi ialah kenyataan bahwa tak semua pembaca buku memiliki privilese berupa duit jajan melimpah. Hal ini dapat memperlebar jurang antara dua kelompok: yang memiliki akses dan yang tidak. Jika arus ini terjadi dalam dunia literasi yang stagnan dan jauh dari fase lepas landas seperti di Indonesia hari ini, ada baiknya untuk ditinggalkan.
Forum Itu Bernama Warkop
UNESCO menetapkan standar bahwa satu orang mesti menamatkan setidaknya 3 buku dalam setahun. Itulah takaran idealnya. Sebagai pembaca buku yang masih perlu banyak belajar dan minim jam terbang, saya segera mengindahkan anjuran tersebut.
Pandangan Moacyr Scliar (1937-2011), misalnya, sempat menguliti “potret zaman kita” terkait dunia kesusastraan di mana “ada lebih banyak yang menulis daripada yang membaca”. Penulis Brasil itu memandang, para penulis masa kini sekadar menjadi cameo: tokoh-tokoh yang durasi kemunculannya tidak lama dan peran yang dimainkannya pun tidak signifikan.
Untuk itu, saya pun tergugah untuk mencari “hidden gem” demi meruncingkan hobi ini. Semacam menelusuri tempat alternatif selain kampus atau rumah yang terlalu banyak interaksi dan lambat laun membosankan. Semesta pun menjawab, upaya itu mempertemukan saya dengan warkop.
Semenjak masa kuliah, saya gemar sekali melipir di warkop-warkop untuk membaca buku. Adapun warkop yang saya maksud adalah kedai berskala kecil, bukan menengah apalagi besar. Pokoknya, harga kopi hitam saset masih berkisar antara 3.000 sampai 5.000 rupiah.
Namanya saja warkop. Benak pun lantas tertuju pada aneka makanan dan minuman yang tersedia di etalase: kopi susu, teh manis hangat, mi instan goreng, roti bakar, atau pancong. Aroma kaldu dari semangkuk bubur ayam pun kerap menghiasi pergumulan saya dengan buku.
Adapun jenis buku yang saya bawa bisa beragam: fiksi maupun nonfiksi, tergantung antrean di rak buku dan mood. Aksi gentayangan antar-warkop yang saya geluti ini rupanya keterusan hingga menyandang status suami. Candu ini timbul akibat atmosfer baca buku di warkop sukar dijumpai bahkan di pojok reading space tersepi sekalipun.
Sebagaimana di rumah atau pelataran kampus, suasana warkop bisa menjadi riuh rendah. Bedanya, peluang untuk bertemu sejawat atau kenalan di warkop sangatlah kecil. Menurut saya, inilah momen adiluhung bagi seorang pembaca agar dapat menaikkan levelnya. Pasalnya, baca buku itu memerlukan skill khusus.
Hiruk-pikuk warkop membantu seorang pembaca mempertajam keterampilannya. Ini disebabkan oleh tuntutan si pembaca yang harus tetap fokus di tengah tawa, umpatan, lawakan, nyanyian pengamen, bunyi denting akibat sendok-gelas yang beradu atau recehan yang jatuh di ubin, dan sebangsanya.
Yang paling menyenangkan di warkop mungkin saat saya mengetahui bahwa tiada aturan apa pun kecuali membayar seluruh pesanan. Itulah hukum tertingginya. Akibat kesederhanaan “forum” ini, saya betah menghabiskan rata-rata 1,5 jam untuk sekadar membaca buku. Ramai, tapi syahdu bukan main.
Baca Buku di Warkop sebagai Ajang ‘Dakwah’
Satu elemen yang mustahil dilupakan ialah efek kelanjutan dari aktivitas nongkrong di warkop sembari membolak-balik kertas. Lazimnya, para pengunjung mungkin saja melihat si pembaca dari sudut pandang yang “absurd”. Metode ini boleh jadi akan membuat si pembaca dihinggapi berbagai stigma: minoritas, kutu buku, atau bahkan berasal dari planet lain layaknya lirik lagu Sal Priadi.
Namun di sisi lain, daya tahan dan intensitas membaca diuji. Mental sebagai pembaca tulen pun terasah dan bisa dijadikan preseden baik untuk ke depannya. Menurut kacamata saya, kampanye ini justru bakal menyulut wacana bahwa membaca buku tetaplah “memungkinkan” meski dilakukan di samping asbak dan es kacang hijau.
Seumpamanya dakwah, segelintir orang akan mencoba memulai kebiasaan ini di lain waktu. Dengan baca buku di warkop, kerja-kerja literasi akan semakin tersiar secara merata. Kalau mengerjakan tugas kuliah atau skripsi saja sanggup, masa, membaca Telegram-nya Putu Wijaya yang tipis saja susah?
Bagaimanapun, sekumpulan kecil konten yang saya jumpai di atas boleh jadi hanyalah bentuk kesialan pribadi alias zonk semata. Akan tetapi, apabila jumlahnya semakin berlipat ganda, komunitas model ini bisa saja menjangkau Anda, kita, dan generasi mendatang.
Keahlian membaca buku akan mengarahkan seorang manusia dalam membaca fenomena. Pembaca yang cermat selalu melatih dirinya dalam impitan arus teks dan konteks. Pertanyaannya, bagaimana cara menuju tingkatan itu jika seorang pembaca hidup dalam cangkang yang serba-limit?
Akhir kata, alangkah menyenangkan bila para pegiat literasi beranjak dari sifat isolatif ke adaptif supaya tradisi membaca betul-betul membumi di tengah khalayak luas. Kadang saya bertanya-tanya, dapatkah segenap pembaca buku masa kini sesekali membaur dengan Sukab, si tokoh populis karangan Seno Gumira Ajidarma itu?