Diskusi “Nalar Keislaman dan Keilmuan” di Festival Harmoni Istiqlal – Festival Harmoni Istiqlal mengadakan diskusi yang bertema “Nalar Keislaman dan Keilmuan” yang membahas buku karya Dr. Fahruddin Faiz. Diskusi ini berlangsung pada hari Minggu, 26 Januari 2025. Pada sesi diskusi tersebut, Dr. Fahruddin Faiz didampingi oleh Mas Ihdan Nazar Husaini, yang bertindak sebagai penanggap.
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara yang diselenggarakan oleh Badan Pengelola Masjid Istiqlal (BPMI) dalam rangka peringatan menuju Milad Masjid Istiqlal. Acara ini diadakan di area Masjid Istiqlal yang bertujuan menjaga seni, spiritual, dan juga teknologi.
Nalar Keislaman dan Keilmuan
Buku yang berjudul Nalar Keislaman dan Keilmuan ditulis oleh Dr. Fahruddin Faiz sebagia respons dari kegelisahan beliau terhadap pandangan sebagian masyarakat yang menganggap agama sebagai sumber permasalahan. Ada anggapan bahwa agama itu tidak mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan terlampau kaku. Padahal, jika dikaji lebih dalam, Islam melalui Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebenarnya hadir untuk menjawab tantangan zaman, baik di masa itu maupun hingga masa sekarang.
Buku ini hadir untuk memancing kita mendaya gunakan nalar berpikir secara mendalam. Sedikit banyaknya buku ini menjelaskan terkait dengan peradaban ilmiah. Mulai dari masalah HAM, teknologi, hingga isu-isu krusial yang ada di kehidupan sehari-hari. Secara garis besar, Islam memerintahkan kita untuk berpikir kritis. Hal ini tercermin dari wahyu pertama yang diturunkan Allah, yaitu Iqra’, yang berarti “bacalah”.
Membaca tidak hanya memperluas cakrawala pemikiran, tetapi juga membuka wawasan-wawasan baru. Dalam Al-Qur’an, perintah membaca tidak hanya terbatas pada ayat-ayat Qauliyah (firman Allah), tetapi juga mencakup jenis ayat Al-Qur’an lainnya, seperti:
1. Ayat-ayat Kauniyah. Ayat ini menjelaskan tentang hal-hal yang bersifat kosmosentris (tentang alam semesta) dan antropologis (tentang manusia).
2. Ayat-ayat Nafsiah. Ayat ini menerangkan tentang kepribadian manusia.
3. Ayat-ayat Tarikhiyah. Ayat ini menguraikan sejarah, baik sebelum maupun sesudah penciptaan alam semesta.
Keberadaan varian ayat-ayat ini memancing kita untuk berpikir dan menganalisis, sehingga kita dapat membedakan mana yang disebut ayat Kauniyah, Nafsiah, dan Tarikhiyah, agar menjadi pelajaran bagi kita.
Salah satu indikator bernalar dan berpikir adalah belajar. Itulah kenapa dalam Islam, menuntut ilmu itu hukumnya wajib. Menuntut ilmu tidak hanya membangun wawasan, tetapi juga menghidupkan semangat agama itu sendiri. Oleh karena itu, Islam dan ilmu adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Manusia dan Keilmuan
Manusia, pada dasarnya, diciptakan oleh Allah menjadi makhluk yang universal, dengan tugas utama adalah menjadi pemimpin di muka bumi. Salah satu ciri utama makhluk universal adalah kemampuan dan kewajiban menuntut ilmu. Allah telah menitipkan akal pikiran kepada manusia, yang harus digunakan untuk berpikir dan bernalar guna memeroleh ilmu pengetahuan. Inilah yang membedakan manusia dengan hewan.
Dalam Filsafat Plato dijelaskan bahwa manusia memiliki empat ciri:
1. Ephitumia
Ciri ini merujuk pada nafsu-nafsu primitif yang terbentuk dari insting manusia untuk mencari kebutuhan dan kepuasan diri.
2. Thumos
Thumos merupakan lambang dari semangat, hasrat, dan harga diri manusia.
3. Logos
Logos adalah logika yang berfungsi memegang kendali penuh atas nafsu dan harga diri untuk menjaga kestabilan kehidupan.
Ketika semua ciri ini terpenuhi, manusia tersebut sudah menjadi eros atau manusia sempurna. Menurut Al-Ghazali, manusia ini dikenal dengan beberapa istilah, yaitu disebutnya dengan Al-Basyr (manusia biologis), An-Naas (manusia sosial), Al-Insan (manusia berakal), dan Al-Insan Al-Kamil (manusia sempurna).
Dalam ilmu Mantiq (logika), manusia disebut sebagai “hewan yang berpikir”. Artinya, ciri utama yang paling identik dengan manusia adalah kemampuannya untuk berpikir. Kemampuan inilah yang menjadikan manusia sangat erat hubungannya dengan keilmuan. Oleh karena itu, menuntut ilmu dalam Islam bukan sekadar anjuran, tetapi merupakan kewajiban. Dengan ilmu, manusia tidak hanya memahami dunia, tetapi juga menghidupkan semangat keberagamaan dan kemajuan peradaban.