Perihal Islam Nusantara, Ormas Biru Jelas Lebih Nusantara Dilihat dari Literatur Kadernya – Islam Nusantara. Sebuah istilah yang beberapa waktu lalu sempat ramai diperbincangkan oleh netizen tanah air di media sosial. Lantas apa sebenarnya Islam Nusantara ini? Mungkin kalian yang membaca tulisan ini juga banyak yang sudah tahu apa itu Islam Nusantara dan siapa yang mencetuskan. Tapi, seperti biasa saya suka menjelaskan dulu apa yang akan saya bahas dalam tulisan, dalam hal ini Islam Nusantara itu sendiri.
Islam Nusantara dapat ditafsirkan bermacam-macam, tapi saya disini mengambil titik tengah saja yaitu Islam yang berkarakter membumi dengan realitas kebudayaan setempat seperti penjelasan di NU Online. Lantas realitas kebudayaan setempat ini pastinya ya realitas kebudayaan nusantara. Realitas kebudayaan ini sangatlah luas, tapi di sini saya ingin membahas secara aspek bahasa. Karena bahasa sendiri juga bagian dari kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik.
Nah, dengan begini sudah jelas ya batasan yang ingin saya bahas dalam Islam Nusantara. Baiklah, mari kita mulai menuju pembahasan yang merujuk pada judul tulisan ini.
Islam adalah agama yang tumbuh dan berkembang di Arab dan Timur Tengah yang kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk ke bumi nusantara kita tercinta ini. Sehingga wajar saja jika kitab suci umat Islam (Al Quran) juga berbahasa Arab, begitu juga dengan sumber-sumber literatur Islam. Mau bertempat tinggal di manapun, Al Quran tetaplah berbahasa Arab, kalau terjemahan ke bahasa setempat maka itu bukan lagi Al Quran.
Di Nusantara sendiri, khazanah keislaman bersumber dari kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab tanpa harokat yang biasa disebut kitab kuning. Apakah itu Ulumul Quran, tafsir, hadits, ushul, fiqih, tasawuf, semuanya bersumber dari kitab kuning.
Di Indonesia ada dua ormas Islam terbesar, yang satu hijau yang satu biru (pakai warna saja ya hahaha) dan keduanya memiliki corak yang berbeda. Yang satu dengan corak modern dan bernuansa pembaruan. Sedangkan yang satu masih tetap memegang teguh kebudayaan-kebudayaan Nusantara yang akhirnya tercetuslah istilah Islam Nusantara dari ormas ini.
Nah, di sini saya melihat ada perbedaan corak lagi antara keduanya dilihat dari literatur kader-kadernya. Kader ormas hijau literatur keislamannya masih sangat kental dengan kitab-kitab kuning klasik yang dikaji di pondok pesantren. Bahkan tidak sedikit yang menolak mengambil penjelasan dari buku-buku berbahasa selain Arab jika sudah berhubungan dengan agama (wow Arabisasi sekali kan). Sedangkan kader-kader ormas biru malah sebaliknya, literatur-literatur keislaman yang dibaca adalah yang berbahasa Indonesia (sangat Nusantara kan).
Pesantren-pesantren dari ormas hijau masih dengan bangga menyandang nama pesantren salaf yang di dalamnya mempelajari ilmu alat seperti nahwu shorf dan balaghoh, kemudian juga kitab-kitab kuning klasik. Sedangkan ormas biru semakin gencar mendirikan dan menggemakan pesantren sains yang maksudnya adalah mengintegrasikan antara agama dan sains agar tidak ketinggalan zaman. Namun seiring berlalunya waktu, semua orang juga sadar bahwa hasil dari pesantren terintegrasi sains ini akhirnya berliterasi Islam bukan dari kitab-kitab berbahasa Arab tetapi Bahasa Indonesia.
Bahkan untuk pesantren-pesantren ormas biru yang masih salaf dan tidak ikut-ikutan integrasi sains juga semakin menurun lulusannya yang dapat membaca kitab kuning. Jangankan membaca kitab kuning, tashrif saja banyak yang tidak bisa padahal dari pondok pesantren salaf. Bahkan menurut saya banyak yang lucu, mondok enam tahun sejak lulus SD, ketika lulus dari pondok malah lancar berbahasa Inggris tapi Arabnya nol besar. ANEHH SANGAT ANEH. Itu di pondok ngapain sebenarnya. Belajar nahwu-shorfnya diganti grammar?
Sering saya mempertanyakan hal ini sejak lulus SMA dan masuk ke jenjang kuliah. Sebagai seorang yang tidak pernah mengenyam pendidikan pondok pesantren, kemudian melihat kader-kader ormas biru yang lulusan pondok tapi tidak tahu Bahasa Arab, baca kitab tidak bisa. Sumber literasi Islamnya tidak berbeda dengan yang tidak pernah mondok, buku-buku terjemahan Indonesia.
Bahkan bukan hanya di ranah kader-kader muda, tapi sampai ke tingkat dewasa yang masuk ke jajaran pimpinan ranting atau cabang, hanya beberapa yang bisa baca kitab kuning. Bahkan di tingkat wilayahpun masih ada yang tidak bisa baca kitab. Pertanyaannya adalah, ini ormas Islam kan? Kok rasa Nusantara sekali ya, literaturnya berbahasa Indonesia.
Padahal ulama Nusantara yang tersohor namanya dan memiliki pengaruh besar dalam dunia Islam seperti Kiai Muhammad Khalil Bangkalan, Imam Nawawi al-Bantani, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Al-Minangkabawi, Syekh Sayyid Utsman Betawi, semuanya berangkat dari kitab kuning. Tidak ada mubalig tanpa berpijak ke kitab kuning. Sebegitu pentingnya kitab kuning dalam kajian keislaman.
Dari penjabaran di atas, terlihat jelas kan bahwa perihal Islam Nusantara, ormas biru jelas lebih Nusantara dibandingkan ormas hijau jika dilihat dari literatur kader-kadernya. Semoga ada kader ormas biru yang membaca tulisan saya ini, agar sadar betapa pentingnya belajar Bahasa Arab dan kitab kuning. Karena sangat lucu melihat ormas yang dengan bangga menyebut diri sebagai Gerakan Islam yang berdasar pada Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al Quran dan Sunnah tetapi saat diminta menjelaskan isi Al Quran pakai terjemah Kemenag, ditanya tafsir ternyata pakai tafsir hati nurani, diminta menyampaikan hadits tapi tidak baca syarah ulama, tapi dijelaskan menggunakan kecakapan berbicaranya sendiri.