Keistimewaan DIY dan Pelestarian Budaya

Keistimewaan Yogyakarta

Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Pelestarian Budaya – Dalam konsep kebudayaan Jawa, kelebihan manusia dibandingkan dengan ciptaan lain adalah dari adanya Tri daya.

Tri daya ini menunjukkan tiga kekuatan manusia, yaitu dengan adanya Cipta, Rasa dan Karsa yang idealnya menjadi satu-kesatuan. Ki ageng Nitiprana menjelaskan bahwa sangat sulit untuk menentukan mana yang bergerak lebih dahulu di antara ketiganya. Memang ada kalanya cipta, ada kalanya rasa, tetapi ada kalanya juga karsa atau tekad yang mengarahkan kekuatan-kekuatan tersebut menjadi pekerti dalam diri kita. 

Tridaya dalam kebudayaan masyarakat Jawa sekaligus menjadi simbol harmoni kekuatan manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidup dan kelestarian alam semesta. Harmoni kekuatan inilah yang kemudian melahirkan peradaban besar dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara, seperti Kerajaan Majapahit, Mataram, Singasari, dan Demak. 

Cipta, Rasa, dan Karsa dalam konteks kemuliaan peradaban Jawa adalah sesuatu yang tumbuh sebagai satu kesatuan dalam kebudayaan, artinya menjadikan Tridaya sebagai Tritunggal yang menyatukan manusia pendiri Jogja yang menempatkan kemanunggalan manusia Jawa dalam paham Kosmis Totalis. 

Lima Urusan Keistimewaan Yogyakarta

Pasal 7 ayat (2) dan (3) UUK DIY menetapkan kewenangan DIY dalam urusan keistimewaan, atau bisa disebut sebagai Lima Pilar Keistimewaan, yang meliputi:

  1. Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur
  2. Kelembagaan pemerintah daerah DIY
  3. Kebudayaan
  4. Pertanahan
  5. Tata ruang

Dalam penyelenggaraannya, kewenangan itu harus atas dasar nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. Upaya refleksi dilakukan terbatas pada urusan kebudayaan. Hal ini karena dari kelima urusan keistimewaan tersebut, yang sering menjadi polemik adalah urusan kebudayaan, karena masyarakat seakan berlomba untuk mengakses Danais (Dana Keistimewaan).

Baca juga: Mengulik Tradisi Pelarungan Ari-ari di Kota Surabaya

Ada dua catatan kritis tentang kebudayaan dalam konteks keistimewaan.

  1. Simplifikasi, tetapi substansinya sama dengan topik: “evaluasi pelaksanaan keistimewaan DIY pasca terbitnya UUK dan arah perkembangan masa depan keistimewaan DIY”. 
  2. Kebudayaan punya lebih 160 definisi. Untuk memudahkan, digunakan definisi koentjaraningrat yang juga digunakan oleh Bapak Gubernur, dengan memilah kebudayaan menjadi wujud dan isi. 

Dari wujudnya, kebudayaan terdiri atas cultural system yang isinya terdiri atas tujuh universal:

  1. Bahasa
  2. Sistem pengetahuan
  3. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial
  4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
  5. Sistem mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi
  6. Sistem religi atau sistem kepercayaan
  7. Kesenian

Dari isi kebudayaan itu menjadi jelas bahwa pelestarian kebudayaan mencakup segala hajat hidup manusia, atau jika menurut pendapat Ki Hajar Dewantara, kebudayaan meliputi Cipta, Rasa, dan Karsa. Padahal, dalam implementasinya, keistimewaan hanya terfokus pada kesenian dan warisan budaya material. Akibatnya, penggunaan dan cakupan kebudayaan menjadi menyempit.

Meninjau kembali UUK DIY secara reflektif, esensinya adalah memberikan pandangan kritis, aktif, terus-menerus, dan teliti tentang UUK DIY untuk menemukan ide-ide inovatif, agar menghasilkan kesimpulan transformatif dengan perspektif peradaban ke masa depan. Jika tidak mengetahui tentang input, proses, dan output-nya, refleksi hanya bersifat kualitatif dan garis besar.

Pelestarian budaya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya menjaga dan mempertahankan keistimewaan harus dimaknai sebagai upaya menghidupkan budaya dalam suatu proses transformasi peradaban manusia mulia.

Generasi milenial sebagai energi kehidupan untuk melestarikan budaya perlu mengambil peran proaktif, progresif, dan kritis dalam berbagai ekspresi kreatif jiwa muda.

Editor: Widya Kartikasari
Visual Designer: Al Afghani

Bagikan di:

Artikel dari Penulis