Anak Adam, Demokrasi dan Tafsir Solutif

Demokrasi dan Tafsir Solutif

Anak Adam, Demokrasi dan Tafsir Solutif

Andai saja waktu itu Nabi Adam tidak tergoda untuk memakan buah khuldi, pasti sekarag kita sebagai masyarakat Indonesia tidak akan pening melihat harga-harga bahan makanan yang makin naik karena minyak goreng juga makin melonjak. Sementara pontang-panting kita harus bekerja atau belajar menghidupi diri, entah kenapa saya heran pada pejabat atau aparatur negara lebih cepat menyelesaikan kasus prostitusi atau katakanlah konten pornografi Dea Onlyfans, ketimbang masalah ekonomi atau covid-19.

Andai saja kita sekarang tidak turun ke bumi, pasti kita tidak akan mengalami hipokondriasis terhadap olahan gorengan yang menyebabkan kolestrol. Dimana uniknya lagi salah satu partai bergambar banteng impor Spanyol, melakukan demo masakan rebus pada (28/03/2022) baca di kompas.com, yang salah seorang di antaranya mengatakan, “Saya itu sampai mikir, jadi tiap hari ibu-ibu itu hanya menggoreng? Sampai begitu rebutannya” saya menganggap kalimat itu ucapan penduduk surga yang belum sadar kalau dia sudah turun ke bumi dan belum merasakan kemelaratan.

Tentu saya juga berpikir, andai kita masih di surga, tentunya kita bisa leyeh-leyeh di tepi sungai yang ritmis, di mana Al-Qur’an menyebutnya sebagai Jannatin tajri min tahtihal anhar. Sebagaimana saya selalu mengingat rumah saya di Ujungpangkah, Gresik, sebagai muara Bengawan Solo, dengan rangkaian sejarah di dalamnya. Akan tetapi kawan, setelah kita turun ke bumi, kita harus belajar hidup bersama sebagai syarat atau katakanlah formalitas bersosial. Kita juga harus mengenal istilah asing yang diambil dari negeri antah berantah, jauh di Yunani sana bernama demokrasi. Kata yang diambil dari kata Demos yang bermakna Rakyat, dan Kratos yang berarti Kekuasaan (Wimmy Haliim, 2016, hlm 20). 

Ketika kita turun dari surga, mau tidak mau, suka tidak suka kita juga perlu tahu bahwa negara kita Indonesia memiliki pesta pemilu terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Jumlah penduduk yang kurang lebih 237,56 juta jiwa didukung oleh peraturan usia minimal 17 tahun sebagai normal usia akil balig laki-laki atau yang pernah menikah (Farahdiba Rahma Bachtiar, 2014, hlm 9). Dengan berbagai dilema pemilu yang diwarnai dengan aksi serang, caci maki bahkan hingga ke ranah penganiayaan fisik.

Baca juga: Mengulas Toleransi dari Buku Nasihat-Nasihat Keseharian

Karena kita sudah menjadi makhluk bumi, kita juga perlu tahu dokumen Litbang Kompas yang mengungkapkan pemilu di Indonesia, merupakan pemilu kompleks dimana ada sekitar 550.000 TPS tersebar di sudut-sudut negara yang terdiri dari 17.000 pulau ini. Dengan 700 juta surat dengan 2.450 desain yang berbeda, untuk menfasilitasi 19.700 kandidat dalam satu pemilu presiden dan 532 kursi dewan perwakilan tingkat nasional dan daerah.

Sejarah mengatakan awal mula demokrasi dari abad 6 SM sampai abad ke 4 M, dimulai di Yunani yang menerapkan sistem demokrasi berhasil menampung keputusan politik yang diselenggarakan secara langsung. Hal itu merupakan contoh skala kecil demokrasi yang melibatkan 300.000 orang, namun dengan kelemahan hanya melibatkan sebagian orang dan kalangan tertentu (Ahmad Ubaedillah, 2015 hlm 87). Jauh sebelum bule-bule Yunani melakukan rembukan politik, sebenarnya ada sebuah kisah demokrasi yang jarang kita sadari sebagai umat Islam.

Qabil, Habil dan Gagalnya Demokrasi

Setalah turun ke bumi, Nabi Adam dan Ibu Hawa dipisahkan. Nabi Adam tak berani memandang ke langit selama 4 tahun sebab rasa malu atas kesalahannya. Namun Nabi Adam bukanlah seperti pria kebanyakan yang tak sanggup menahan rasa setia, beliau terus mencari Ibu Hawa meski sedang dirundung rasa malu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hingga di sebuah tempat yang indah bernama Jabal Rahmah. Dari sanalah kemudian mereka berdua membangun rumah tangga, sebagai fungsional demokrasi skala kecil. Mereka melahirkan dua anak kembar yang diberi nama Qabil dan Habil.

Singkat cerita, keduanya memiliki karakter dan kepribadian yang berbeda. Dari segi fisik dan sifat, Habil lebih baik sedangkan Qabil sebaliknya. Kegagalan demokrasi pertama di dunia, tersemat pada kisah keduanya yang akan dinikahkan. Qabil tidak terima dan iri hari sebab istri dari Habil lebih cantik dibandingkan istrinya. Kekesalan itu memuncak ketika dengan sengaja Qabil memukul Habil denga batu sebanyak tiga kali, dan membunuhnya di suatu bukit. Dan di sanalah letak kegagalan demokrasi pertama yang ada di dunia, yaitu disebabkan iri hati (Fariz Alnieza, dalam Muslim Pentol Korek, 2017).

Sebagaimana pengertian demokrasi sebagai gagasan atau pandangan hidup yang selalu mengutamakan persamaan hak maupun kewajiban, serta perlakuan yang sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Maka kisah Qabil dan Habil menjadi bentuk kegagalan demokrasi secara pribadi. Karena sejatinya kebebasan bersuara, memilih, berusaha maupun bersaing seharusnya tidak menimbulkan kekerasan dan kekacauan, melainkan kesejahteraan sosial.(Heru Nugroho, 2012 hlm 3). Maka jika saja Qabil memilih jalan demokrasi, minimal dengan mengungkapkan keluh kesah dan suaranya kepada Nabi Adam, mungkin kebencian dan iri hatinya tidak sampai membunuh saudaranya sendiri.

Baca juga: Tutorial Membuat Testamen sebelum Eutanasia

Tafsir Solutif: Demokrasi adalah Kebijaksanaan

Islam mengajarkan untuk mengambil hikmah dari setiap kejadian yang ada, termasuk belajar berdemokrasi. Menolak demokrasi karena istilah yang didasarkan dari Barat, kemudian dianggap menggangu adalah alasan yang tidak objektif dan keliru. Bahkan Nabi Muhammad SAW menyuruh kita untuk belajar dan memetik hikmah dari setiap kejadian, agar kita menjadi orang yang berguna akalnya. Dan sebenarnya sudah sejak lama kita mempraktikkan demokrasi yaitu dengan mencari argumentasi dan penyelesaian masalah keagamaan, terutama dalam bidang fikih (Hakiki, 2016, hlm 16). Adapun Allah SWT berfirman dalam al-Baqarah ayat 269:

يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ

“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat”

Kontekstualisasi ayat ini berbicara tentang bagaimana Nabi Muhammad SAW diberi hikmah oleh Allah SWT berupa kenabian, kemampuan menafsirkan Al-Qur’an, memiliki pandangan yang kritis dan kelebihan lainnya. Hikmah dalam kata itu dimaksudkan bagaimana seseorang memanfaatkan kelebihan yang dimiliki, kata hikmah dalam Bahasa Arab dapat diartikan sebagai kebijaksanan (Tohawi Agus, 2020, hlm 224). Kata kebijaksanaan juga mengandung makna kompleks tentang kebaikan/Ulul Albab (Hasibuan, 2019, hlm 8). Bahwa sejatinya demokrasi ialah kebijaksanaan, prilaku demokrat memberi ruang untuk mempersilahkan yang lain dalam hak dan kewajiban yang dimiliki. Hal itu pula yang disampaikan oleh Emha Ainun Nadjib selaku budayawan dan tokoh nasional dalam tulisannya yang berjudul “Demokrasi Yatim Piatu”. Ia menjelaskan bahwa watak utama demorasi adalah mempersilahkan, tidak memiliki konsep menolak, menyingkirkan bahkan menolak. Demikianlah kebijaksanaan sebagai seorang manusia, yang memanusiakan manusia lainnya.

Editor: Firmansah Surya Khoir
Illustrator: Natasha Evelyne Samuel

Bagikan di:

Artikel dari Penulis