Kapitalisme Ketuhanan: Pemerasan Keringat dengan Dalih Pahala – Ketika berbicara tentang pendidikan, kita sering membayangkan sosok guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, seiring berjalannya waktu, narasi pahlawan tanpa tanda jasa yang bermuara pada pengabdian ini sering kali dimanfaatkan untuk menutupi ketidakadilan yang dialami para guru. Lebih parahnya, hal-hal seperti ini cukup banyak terjadi di yayasan pendidikan Islam. Sampai-sampai saya terpikir untuk membuat istilah “Kapitalisme Ketuhanan” untuk fenomena ini.
Dengan dalih “pahala di akhirat” atau “pengabdian mulia”, guru-guru ini terus menghadapi kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Seolah profesi mereka tidak layak mendapatkan penghargaan finansial yang memadai. Bahkan setelah ada yang memprotes, sebagian guru di yayasan pendidikan Islam ini tidak akan menerima kritik tersebut. Mereka merasa bahwa adalah keadaan saat ini sudah benar. Sampai pada titik ini, kapitalisme ketuhanan telah mengakar kuat dalam jiwa mereka.
Realitas Kesejahteraan Guru
Guru, khususnya yang mengajar di yayasan pendidikan Islam, sering kali hanya menerima gaji berkisar antara Rp1 juta hingga Rp2 juta per bulan. Cari saja di Google, atau tanyakan ke teman-teman atau kenalan yang menjadi guru di yayasan pendidikan Islam. Bahkan, mendapatkan gaji sesuai dengan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) terasa seperti sebuah mimpi yang sulit digapai. Bandingkan dengan pekerja kantoran yang, katakan meskipun kinerjanya tidak maksimal, tetap mendapatkan hak sesuai standar upah yang berlaku. Masih ditambah dengan iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Ironisnya, kualitas pengajaran atau dedikasi seorang guru tampaknya tidak berbanding lurus dengan penghargaan finansial yang diterima. Di dunia profesional lainnya, ada jenjang karir, kenaikan gaji, bonus, hingga berbagai tunjangan. Sementara itu, para guru tetap terjebak dalam situasi stagnan: tanpa harapan untuk memperbaiki taraf hidup mereka. Seolah profesi guru berada di luar lingkup dunia profesional, diperlakukan hanya sebagai bentuk pengabdian semata.
Jangan dibandingkan dengan yayasan pendidikan Kristen atau yayasan pendidikan swasta para kapitalis dan konglomerat, ya. Njomplang nanti. Malu.
Ketimpangan yang Mencolok
Yang membuat miris, ketidakadilan ini sering kali terjadi bersamaan dengan kemewahan yang dinikmati oleh pemilik yayasan. Yayasan-yayasan pendidikan yang berdiri dengan embel-embel “keagamaan” tampak lebih fokus pada pengumpulan keuntungan dibandingkan dengan misi mencerdaskan bangsa. Mobil baru, kehidupan glamor, hingga gaya hidup mewah menjadi pemandangan yang kontras dengan keseharian para guru yang harus bertahan dengan pendapatan seadanya.
Pemilik yayasan sering kali dianggap sebagai figur suci, sosok yang memiliki otoritas moral tinggi. Namun, di balik itu, tak jarang mereka terjebak dalam praktik yang saya sebut “Kapitalisme Ketuhanan” — sebuah fenomena di mana nilai-nilai agama digunakan untuk membungkam dan menjustifikasi eksploitasi terhadap para pekerja, dalam hal ini para guru. Ketika pemilik yayasan memperkaya diri melalui sumbangan dan uang sekolah, para guru yang seharusnya menjadi garda terdepan pendidikan justru dibiarkan hidup dalam ketidakpastian. Bahkan, kerennya, ketika ada yang mengkritik pemilik yayasan seperti ini, akan ada, lo, yang membela. Dibilang tanpa data, dibilang dasar cinta dunia. Oleh siapa? Ya, oleh guru yayasan itu sendiri.
Kalau di bukunya Paulo Freire yang judulnya Pendidikan Kaum Tertindas, ini mungkin cocok dimasukkan dalam kategori tertindas, tapi tidak merasa. Tertindas, tapi nyaman. Dan bahkan dengan sukarela membela yang menindas.
Kapitalisme Ketuhanan
Jadi gini, lo, wahai pemilik yayasan. Anda ini, ‘kan, membangun atau mendirikan yayasan pendidikan harusnya ada tujuannya. Mungkin ada yang tujuannya memang mulia: mencerdaskan kehidupan bangsa, dan sejenisnya, pokoknya mulia. Ada juga yang dibumbui dengan tujuan finansial, dapat duit secara langsung atau mempersiapkan yayasan ini untuk anak cucu agar tidak perlu susah cari kerja.
Lantas mari kita bahas dari yang tujuan mulia dulu. Kalau tujuannya mencerdaskan anak bangsa, mau itu dalam bidang umum atau agama, tentunya tidak boleh dong mengorbankan para pengajar. Wajib dong harusnya mengangkat derajat yang mengajar. Mereka yang membantu atau perpanjangan tangan Anda dalam mencapai tujuan, jangan ditelantarkan dong. Kasih gaji yang tinggi, ini anak orang, lo, yang diajar.
Lalu untuk yang tujuan sampingan. Nah, ini lebih parah kalau sampai gurunya tidak digaji secara layak. Anda membuat yayasan dengan tujuan mendapatkan uang, komersial, artinya sama dengan Anda membangun sebuah perusahaan. Artinya, Anda ini masuk dalam pusaran kapitalisme, di mana Anda sebagai pemilik modal. Yayasan pendidikan Anda ini adalah perusahaan jasa, customer-nya adalah wali murid, karyawannya adalah guru. Ya, karyawan Anda itu harus digaji secara layak dong.
Bahkan, para cukong yang jelas-jelas kapitalis ulung, mereka keluarkan duit hingga puluhan juta, bahkan ratusan juta untuk menggaji 1 karyawan. Pertanyaan saya, Anda ini sebenarnya lebih manusiawi atau tidak dibandingkan mereka?
Kapitalisme itu memang kejam. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Pemilik modal berkuasa, tapi pekerja, karyawan, masih ada standar kelayakan dalam penggajian. Bahkan dengan skill yang mumpuni, masa kerja bertambah, karyawan bisa naik jabatan jadi manager, misalnya, atau direktur. Gajinya puluhan hingga ratusan juga.
Sudah tau kejam, Anda malah bikin cabang baru, kapitalisme ketuhanan namanya. Lebih parah lagi kejamnya. Karyawan dikasih gaji minim + tunjangan pahala + disayang Tuhan.
Apakah kapitalisme ini sebenarnya lebih baik dibandingkan kapitalisme ketuhanan?
Guru Adalah Profesi, Bukan Pengabdian Semata
Penting untuk diingat lagi bahwa menjadi guru adalah sebuah profesi. Sebagaimana profesi lainnya, seorang guru memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan yang layak atas kerja keras dan kontribusinya. Argumen bahwa menjadi guru adalah “pengabdian mulia” sering kali menjadi alat untuk meredam protes dan tuntutan akan keadilan. Namun, argumen ini sebenarnya mencerminkan bentuk ketidakadilan yang sistematis.
Pengabdian bukan berarti seseorang harus hidup dalam kemiskinan. Guru, sama seperti pekerja lainnya, memiliki kebutuhan hidup yang harus dipenuhi: membayar sewa rumah, membeli makanan, membiayai pendidikan anak-anak mereka, dan masih banyak lagi. Dengan gaji yang tidak layak, bagaimana mungkin para guru dapat memberikan yang terbaik untuk generasi penerus bangsa?
Mengembalikan Marwah Guru
Sudah saatnya kita mengembalikan marwah profesi guru sebagai pekerjaan yang terhormat, baik dari segi penghargaan sosial maupun finansial. Pendidikan adalah fondasi bangsa, dan guru adalah pilar utamanya. Ketika para guru diberdayakan dan dihargai dengan layak, kualitas pendidikan akan meningkat, dan bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih cerah.
Mengabaikan kesejahteraan guru sama saja dengan mengabaikan masa depan generasi mendatang. Oleh karena itu, mari kita hentikan praktik Kapitalisme Ketuhanan ini dan mulai memperjuangkan hak-hak para guru yang telah berjasa besar bagi bangsa ini. Sebab, mereka juga berhak mendapatkan kehidupan yang layak, sebagaimana profesi lainnya.
HENTIKAN PRAKTIK KAPITALISME KETUHANAN