Makan Siang dan Susu Saja Tidak Cukup, Generasi Penerus Lebih Memerlukan Hak Asasi – Haruskah kehidupan modern dibentuk hanya dengan pola makan 3 kali sehari? Mari bertanya lagi pada tubuh kita sendiri! Apa sesungguhnya yang benar-benar kita butuhkan? Apakah pola makan saja sudah cukup berpengaruh terhadap kualitas berpikir atau aktivitas pekerjaan yang dilakukan individu tertentu?
Sains menunjukkan sistem pencernaan setiap makhluk memiliki perbedaan. Termasuk manusia yang memerlukan asupan gizi dan protein sesuai berat badan, tinggi badan, usia, jenis kelamin, tingkat aktivitas fisik, dan kondisi fisiologis masing-masing. Bahkan orang kembar pun bisa memiliki kebutuhan gizi yang berbeda setiap harinya.
Patokan AKG (Angka Kebutuhan Gizi) sebagai standar bahwa kebutuhan protein pria berusia 19-29 tahun cukup di angka asupan 63 gram per hari. Sementara binaragawan berusia sama harus memakan puluhan telur rebus dan berkilo-kilo gram daging guna membentuk otot tubuh yang sempurna. Belum lagi, seorang pengangguran yang lelah miskin akan lebih peduli penerimaan dana bansos untuk mengisi dompet slot judi online dari pada sibuk berpikir AKG.
Baca juga: Biografi Prabowo Subianto, Catatan Singkat Perjalanan Karier
Optimis memang perlu, tetapi berpijak terhadap realita yang ada tidak bisa begitu saja diabaikan. Banyak generasi penerus yang beruntung karena sejak kecil dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga sejahtera. Namun, tidak sedikit juga generasi penerus yang mengalami masa kecil menyakitkan karena hanya makan sekali dalam jangka waktu tiga hari akibat kepala keluarga terkena PHK imbas krisis moneter. Tentu saja, kecukupan AKG individu-individu tersebut menjadi berbeda, bukan?
Makanan dan susu gratis sebagai brunch di siang hari, apakah sudah cukup menyelesaikan masalah AKG? Atau justru, hal semacam itu hanya menjadi pelipur lara bagi para pencari nafkah keluarga yang harus hidup melawan persentase upah minimum kecil di daerah berbiaya hidup tinggi? Jangan-jangan, makan siang dan susu itu malah hanya dibagikan di Jakarta saja.
Ibu-ibu di Jawa sebenarnya sudah sejak lama menunjukkan kebutuhan utama yang sangat penting bagi kehidupan anak-anak mereka dibandingkan susu. Kebutuhan itu dinamakan “Hak”. Kenapa bisa demikian?
Ya, sejak kecil, ibu-ibu di Jawa ketika menyuapi makan bayi mereka akan mengatakan, “Ayo, Nak. Hak!” sebagai tanda bayi tersebut harus membuka mulut. Mau tidak mau, harus diakui. Hak memang sepenting itu dan sudah sejak bayi kita diperkenalkan oleh orang tua tentang apa yang dinamakan hak.
Hak untuk hidup layak, hak mendapatkan pendidikan minim biaya administrasi, hak bebas berpendapat, dan hak-hak lain yang sudah seharusnya dijamin negara. Generasi penerus bangsa harus mendapatkan jaminan hak yang setara satu sama lain agar mereka dapat mengembangkan bakat dan potensi diri sehingga kelak dapat mengharumkan nama bangsa. Apa guna makan siang dan susu jika hasil yang muncul selepas keluar dari ruang kelas hanya tawuran di jalan?
Melihat situasi dan kondisi para pelajar utamanya di kota-kota besar, justru membuat kita kian hari kian tertunduk malu. Berharap negara maju dengan generasi penerus hebat dan jenius, tetapi yang ditemukan hanya kasus tindak anarkisme, asusila, dan penyalahgunaan narkotika, atau minuman beralkohol semakin meningkat. Serasa sangat pengap dan benar-benar membuat geleng-geleng kepala.
Melalui makan siang dan susu, benarkah menjadi solusi satu-satunya untuk mencegah stunting dan memperbaiki gizi buruk pada anak sekolah? Sementara kita tahu sendiri, sudah banyak contoh agenda kegiatan yang sengaja diada-adakan supaya anggaran dana negara dapat menggelembung kemudian bermuara di rekening gendut sekelompok mafia. Sejatinya harga diri generasi bangsa lebih penting daripada mentalitet korea yang dikenalkan Bambang Pacul, sebab keterasingan lebih baik kiranya daripada hidup di tengah-tengah kemunafikan.
Baca juga: Fenomena Munculnya Istilah “Korea-Korea” ala Bambang Pacul
Memberi jaminan generasi penerus dengan hak asasi yang sepatutnya mereka dapatkan bersifat sangat fundamental karena melalui hal tersebut tingkat kecerdasan secara otomatis dapat terdorong. Jalan kemajuan sebuah negara bukan semata bersumber dari AKG melainkan dari karakter warga negara yang bermental jujur dan disiplin meski dalam kondisi perut yang lapar. Tidak perlu pintar, tetapi memang harus cerdas, karena kecerdasanlah yang dapat menguasai dunia. Itulah jawaban dari kenapa negara-negara yang dihuni orang cerdas, tidak pernah kekurangan bahan pangan.