Jejak Negeri Jenaka 2 (Dilema Pemberantasan Korupsi di Indonesia)

Dilema Pemberantasan Korupsi Indonesia

Dilema Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Sebelum masuk ke dalam pembahasan, perlu diketahui ini adalah tulisan saya yang kedua dalam seri Jejak Negeri Jenaka. Tulisan pertama dalam seri Jejak Negeri Jenaka ini berjudul Diskon Hukuman Ringan Koruptor di Tengah Pandemi.

Mari kita awali dengan menganalisis bersama betapa jenakanya negeri ini. Sebagai sebuah negara, Indonesia merupakan negeri yang berdiri mengedepankan ketuhanan, berpayung hukum, serta menjunjung tinggi keadilan. Namun mirisnya pada sisi yang lain, ulama dikriminalisasi sedangkan pejabat bermental bandit diapresiasi bahkan diberi panggung. Lucunya, mereka para pejabat bermental bandit ini dilantik secara agamis, tapi malah menjadi maling setelah menjabat. Ya meskipun sebenarnya tidak semua pejabat adalah koruptor, tetapi kebanyakan koruptor adalah pejabat.

A. Kejahatan Korupsi

Tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Sebuah permasalahan yang bersifat global, layaknya pandemi Covid-19 yang sedang terjadi saat ini. Di Indonesia korupsi tumbuh dan berkembang mulai dari pusat sampai dengan pemerintah daerah dan hal ini bukanlah masalah baru di negeri ini, karena telah ada sejak era tahun 1950-an. Sehingga layaknya gurita, korupsi semakin kuat melilit dan mencengkram sendi-sendi negara.

Korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelanggaraan negara. Pelakunya juga muncul dari barbagai kalangan, dari pelaku usaha, kepala daerah, menteri, bahkan aparat penegak hukum seperti hakim, jaksa, polisi dan pengacara. Kondisi ini menunjukan bahwa, korupsi telah menjalar ke dalam seluruh lapisan penyelenggara negara, baik itu dari kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dr. Jan S Maringka menyebukan bahwa, terlibatnya lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah sebuah gambaran umum bahwa korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian secara finansial dan menghambat proses pembangunan, namun juga mengancam fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan bisa saja korupsi akan menjadi babak terakhir dari perjalan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat.

Menurut Firli Bahuri dikutip dari website Lemhannas, korupsi bukan hanya berdampak pada keuangan negara, tetapi pada seluruh program pembangunan dan pendidikan. Beliau menekankan bahwa korupsi dapat menyebabkan kualitas bangunan menjadi rendah, mutu pendidikan jatuh, serta kemiskinan tidak tertangani. Artinya, korupsi adalah kejahatan yang merampas hak rakyat, merampas hak asasi manusia, serta melawan kemanusiaan.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka memang sudah seharusnya tindak pidana korupsi diberantas, dibumi hanguskan dari bumi Indonesia kita tercinta ini meskipun menyelesaikan permasalahan tindak pidana korupsi memang bukan sesuatu perkara yang mudah. Apalagi saat ini kejahatan korupsi telah menjalar ke dalam lembaga penegak hukum. Buktinya muncul istilah seperti “mafia peradilan” yang disematkan kepada para penegak hukum. Hal ini menunjukkan betapa tidak efesiennya penegakan hukum di Indonesia.

B. Carut-marut Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Kejahatan korupsi sebagaimana telah diuraikan tentunya setiap pemimpin negeri ini mehamaminya, bahkan dalam perjalanan politiknya ada yang menjadikan masalah korupsi sebagai suatu pertimbangan dalam srategi politiknya. Hanya saja setelah memenangkan hati rakyat, hal itu hilang seperti ditelan bumi. Salah satu contoh nyata adalah presiden kita saat ini (Joko Widodo). Pada kampanye periode awal untuk pencalonannya sebagai presiden, salah satu nawacita dari Presiden Joko Widodo saat itu adalah menolak negara lemah dengan penguatan terhadap lembaga penegak hukum dan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun selama empat tahun masa kepemimpinannya tidak ada perubahan, baik dalam persoalan penegakan hukum atapun masalah tindak pidana korupsi. Bersumber dari Transprency Internasional Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia selama empat tahun pemerintah Jokowi-JK naik sebanyak empat poin. Pada tahun 2014 skor IPK Indonesia berada di angka 34, sementara pada 2018 skornya bergeser ke angka 38 atau naik rata-rata 1 poin pertahun.

Pada periode kedua masa kepemimpinan presiden Joko Widodo juga tidak menunjukan keseriusan ataupun integritasnya dalam menangani masalah korupsi. Janji Jokowi seperti menolak negara lemah, penguatan terhadap lembaga penegak hukum dan melakukan upaya pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi dapat kita katakan sebagai sebuah omong kosong belaka. Hal ini dapat kita lihat dari status lembaga kepolisian dan kejaksaan yang hingga saat ini masih belum ada perubahan, metode pengisian jabatan Jaksa Agung yang masih monoton, dan puncaknya adalah ketika membiarkan revisi terhadap UU KPK, padahal revisi tersebut menjadi kontroversial (mendapat tanggapan serius dari berbagai kalangan baik itu mahasiswa, praktisi ataupun akademisi). 

Upaya terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak mengalami kemajuan. Di tengah pandemi Covid-19 saat masyarakat menjerit kelaparan saja perilaku korupsi tetap terjadi, bahkan dari aparat penegak hukum juga tidak terlihat itikad baik untuk menangani perilaku korupsi tersebut. Kekuasaan terhadap sistem dipertontonkan didepan mata, saat rakyat kecil melanggar hukum diberi sanksi berjilid-jilid namun para pelaku korupsi dipotong masa tahanan. Bahkan aparat penegak hukum juga tidak luput dari tindakan korupsi. Bersumber dari Transprency Internasional Indonesia, skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2019 adalah 40 dan ada pada posisi ke-85, kemudian pada tahun 2020 adalah 34 dan ada pada posisi ke-102 dari 180 negara yang disurvei. Dengan adanya peristiwa dan perkembangan seperti ini pemerintahan Jokowi telah mencederai harapan masyarakat. Bersumber dari media Tempo, Wakil Koordinator ICW Agus Sunaryanto menyatakan bahwa pada awal periode kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden, publik berharap banyak dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Harapan tersebut juga bukan tanpa sebab, hal itu dikarenakan Presiden Joko Widodo sendiri pernah diganjar Bung Hatta Anti-Coruption Award semasa ia masih menjabat sebagai Wali Kota Surakarta.

Bagikan di:

Artikel dari Penulis