Apa Salahnya Membuang Sampah di Sungai? – Kemarin, sewaktu saya pulang mengajar, di daerah saya di Kabupaten Serang paling utara, ada seorang perempuan paruh baya dengan entengnya membuang segepok sampah rumah tangga di sungai, bersama dengan tumpukan sampah lainnya. Alih-alih saya – sebagai seorang guru – menghentikan kendaraan saya lalu menasihati si ibu tentang kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya, saya malah kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa. Lah, wong saya pun sering begitu. Bedanya, saya membuang sampah di pinggir sawah di belakang rumah, di gang, atau di sembarang tempat di luar rumah. Mau bagaimana lagi, coba? Tempat pembuangan sampah di kampung saya ya di pinggir sawah, di gang, di sembarang tempat itu. Begitupun si ibu itu, tempat paling mungkin untuk membuang sampah ya di sungai. Mau dibuang ke mana lagi coba?
Semenjak SD, kita kenyang dijejali larangan membuang sampah di sungai. Begitu pun dengan kebanyakan orang di daerah tempat saya tinggal, mereka, yang sekolah atau tidak sekolah itu. Pernah suatu ketika saya mewawancarai beberapa dari mereka mengenai membuang sampah. Jawaban mereka tak berbeda dengan jawaban orang-orang pemerintahan dan orang-orang sekolahan yang sering mengepalkan tangan dan berteriak “Buanglah sampah pada tempatnya!”. Mereka sepakat bahwa membuang sampah di sungai adalah perbuatan merusak lingkungan. Mereka pun menambahi, “Terus saya buang sampah di mana lagi, Kang?” Bisakah orang-orang sekolahan dan orang-orang pemerintahan menjawab dan mengajarkan itu?
Tetapi, yang saya pikirkan bukanlah perihal bagaimana minimnya kesadaran, edukasi, serta kemauan untuk berubah dari orang-orang untuk membuang sampah pada tempatnya. Menurut saya, itu tugas ke-sekian. Tugas yang pertama adalah menyediakan “tempatnya” untuk membuang sampah. Sebab, bagi kami “tempat” yang dimaksud adalah sungai, gang, pinggir sawah, atau di sembarang tempat di luar rumah. Serta yang bukan “tempatnya” itu di kamar, ruang tamu, atau di dalam rumah. Coba berkunjunglah ke rumah orang-orang di daerah saya. Di rumah mereka tersedia tempat pembuangan sampah berupa ember dengan plastik di dalamnya, tempat yang barangkali orang pemerintahan dan orang sekolahan itu maksud.
Selain tempat, hal yang tak kalah penting, atau barangkali ini menjadi pokok, ialah pengelolaan. Singkatnya, teknis pembuangan sampah yang tepat dari mulai dapur-dapur rumah tangga, menuju ke tempat pembuangan sampah sementara, lalu otewe ke tempat pembuangan sampah akhir hingga ke pengambilan keputusan untuk dijadikan apa sampah-sampah tersebut setelah terkumpul dari seluruh penjuru desa. Apakah sampah itu didaur ulang, atau diekspor ke luar negeri atau dibiarkan saja di TPPA sampai Tuhan melalui kuasa-Nya melenyapkan sampah-sampah itu dari muka bumi ini.
Dalam hal pengelolaan ini, dibutuhkan berbagai macam perangkat semisal lahan di setiap desa untuk dijadikan TPPS dan satu titik pusat TPPA, petugas kebersihan, dan aturan main serta sangsi serius yang ditangani langsung oleh pemerintah pusat, ke daerah, hingga ke desa. Maksud saya serius adalah menjadikan kebijakan terkait penanggulangan sampah ini benar-benar diaplikasikan. Bukan hanya tercantum secara tersurat di aturan, slogan, atau tersirat di pidato-pidato dan mimbar bebas. Dalam hal ini, saya perlu katakan bahwa kerja sama pemerintah dan seluruh masyarakat serta kerelaan pemerintah untuk menyisihkan anggaran untuk memprioritaskan progam ini sangat dibutuhkan.
“Tetapi, kan tetap saja, kesadaran, cara berpikir, dan kebiasaan sangat memengaruhi bagaimana masyarakat membuang sampah. Percuma disediakan tempat, dibuat aturan, dikelola ini, dikelola itu, kalau kesadaran masyarakat dalam membuang sampah masih rendah, ya sampah tetap tercecer dong!”
Betul sekali. Tak ada yang salah dengan logika ini. Yang menjadi persoalan adalah sudah berapa lama dan sudah berapa banyak upaya membangun kesadaran masyarakat? Bagaimana hasilnya? Apakah ada perubahan? Kita semua bisa menjawab sendiri. Ironisnya, kita barangkali sering melihat betapa sampah menggunung di bawah papan peringatan “Jangan buang sampah di sini kalau tidak mau disebut monyet”.
Upaya penyadaran yang terus menerus dilakukan oleh semua pihak itu bukan tak membuahkan hasil apa-apa. Di lapangan, beberapa orang sudah banyak yang mengakui bahwa mereka menyadari akan kesalahan membuang sampah. Tetapi kesadaran tersebut kembali tak berdaya dihadapan fasilitas yang tak ada, “Saya sudah sadar, Pak, tetapi saya buang sampahnya di mana?”
Saya percaya tentang idiom yang menyatakan bahwa kesadaran menentukan kondisi. Tetapi dalam konteks ini, secara aplikatif, saya lebih menggunakan idiom lain yang lebih realistis yaitu keadaan menentukan kesadaran. Pasalnya, pertama, dewasa ini, sudah barang tentu kita tahu bahwa kita sedang berada di era industri-kapitalis, di mana segala tetek-bengek produk tersedia dan mesti habis terjual supaya dapat memproduksi lebih banyak produk lagi dan mendobrak roda pertumbuhan ekonomi. Maka, upaya yang dilakukan adalah menggenjot daya beli masyarakat melalui iklan yang menggoda. Kesadaran masyarakat diedukasi untuk membeli lagi, lagi, dan lagi, alih-alih mengelola sampah sisa produk yang mereka beli.
Kedua, kesadaran itu sesuatu yang abstrak. Sedangkan keadaan adalah kondisi nyata. Bagaimana membangun kesadaran di dalam kondisi yang tidak memungkinkan kesadaran itu terbangun. Apakah tidak membuang sampah di rumah dan lebih memilih membuang sampah di luar rumah adalah bukan bentuk kesadaran tentang kebersihan rumah saudara-saudara?
Ketiga, berpegang teguh pada prinsip bahwa kesadaran mengubah kondisi, perlu adanya penyadaran terhadap masyarakat untuk mengonsumsi produk sesuai kebutuhan. Produsen juga dapat membuat iklan yang mengajak masyarakat untuk tidak membeli produk mereka jika masyarakat tak membutuhkannya. Tetapi, apakah di dalam pasar, kebutuhan dan keinginan adalah hal yang penting dibanding pertumbuhan ekonomi?
Alih-alih menyalahkan kesadaran, pola pikir, dan kebiasaan membuang sampah sembarangan yang menjangkit di masyarakat, mengapa tidak membangun fasilitas, membuat kebijakan dan bekerja sama mengatur pembuangan lalu mengelolanya? Sebab jangan-jangan, kesadaran, pola pikir, dan kebiasaan generasi saya terkait membuang sampah ini adalah hasil dari kondisi generasi sebelumnya yang tak selesai-selesai membahas kesadaran, namun enggan membangun fasilitas dan segala kebijakan yang mendukung. Jika memiliki fasilitas tempat pembuangan sampah dan aturan main yang serius, bisa saja generasi selanjutnya memungkinkan untuk memiliki kebiasaan membuang sampah pada “tempatnya” bahkan sampai mampu mengelolanya? Bukan apa-apa, maksud saya, mau sampai kapan kampanye kesadaran membuang sampah pada “tempatnya” ini akan berlangsung, sedangkan tempatnya pun tidak ada? Apa mesti menunggu turunnya Nabi Isa ke bumi dahulu, lalu menegur kita untuk membangun dan mengatur pengelolaan sampah lantaran beliau kaget melihat tumpukan sampah di bawah papan peringatan, “Ya Allah! Cabut nyawa orang yang membuang sampah di sini!” Apa mau begitu?