Nietzsche, Hujan, dan Masa Lalu

Nietzsche, Hujan, dan Masa Lalu

Nietzsche, Hujan, dan Masa Lalu – Ketika hujan turun dari langit dan menghempaskan rintik-rintik air ke tanah yang penuh dengan komedi anarki, beberapa orang mungkin akan merasakan suatu perasaan yang tidak nyaman. Misalnya, merasa kesal karena tidak dapat beraktivitas dengan baik atau terpaksa menepi untuk berteduh karena hujan dirasa tidak bersahabat. 

Keadaan yang disebabkan oleh hujan akan mempengaruhi aktivitas seseorang dan tidak jarang ketika hujan, beberapa orang akan berdiam diri di suatu ruangan atau bahkan berbaring di atas kasur dan menggunakan selimut untuk mengurangi hawa dingin yang disebabkan oleh hujan. Perubahan tersebut menyebabkan penurunan serotonin dalam tubuh manusia yang disebabkan oleh keadaan yang gelap. Suasana tersebut akan menghambat pertumbuhan serotonin di dalam diri seseorang dan menjadi salah satu faktor pendukung untuk membuat keadaan menjadi lebih negatif. Misalnya ketika sendirian di dalam rumah dan merenung, tidak jarang kita akan mengingat kenangan yang terlintas di dalam pikiran kita. Akibatnya, seseorang akan menjadi lebih melankolia atau sedih.

Penyesalan atas Masa Lalu

Mungkin kita pernah melihat meme yang membahas tentang pilihan bagi seseorang untuk kembali ke masa lalu. Biasanya, meme tersebut merupakan pilihan dalam bentuk “pil biru” atau “pil merah” dan keduanya tidak jarang mewakilkan masing-masing pilihan bagi seseorang. Misalnya, pil merah menawarkan seseorang untuk kembali ke masa lalu atau pil biru yang menawarkan seseorang menuju masa depan. Bagi sebagian orang, tidak jarang mereka memilih untuk kembali ke masa lalu dan berupaya untuk mengubah masa lalu yang menurutnya buruk.

Baca juga: Nihilis Bukanlah Keputusasaan

Keadaan tersebut kita lihat sebagai salah satu keadaan manusia yang sulit untuk menerima atau melegitimasi keadaan yang sudah terjadi. Akibatnya, seseorang akan sulit membuka diri dan melepaskan pikirannya dari masa lalu. 

Ketidakbahagiaan ini menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan bagi diri seseorang. Mungkin kita dapat membenarkan bahwa kebebasan dan kesadaran manusia merupakan penyebab dari ketidakbahagiaan manusia. Kebebasan manusia menyebabkan perubahan yang begitu dinamis di dalam diri seseorang dan tidak jarang kita akan terlibat dengan keadaan di luar kuasa seseorang yang akan menyebabkan ia menderita, misalnya penderitaan atas kemiskinan, peperangan, atau patah hati. 

Kesadaran manusia merupakan titik tolak kedua yang menjadi penyebab ketidakbahagiaan, dengan segala aktivitas yang mencoba untuk memperoleh pengetahuan dan itu akan menimbulkan beberapa kesimpulan berbeda sesuai dengan jenis pengetahuan yang sedang dicari. Misalnya, pengetahuan tentang umur rata-rata manusia dapat hidup.

Lagu bernada eksistensialisme yang berjudul “The Spirit Carries On” yang dinyanyikan oleh band asal Amerika, Dream Theater, dapat dianggap sebagai candu eksistensialisme yang sebenarnya akan sirna ketika manusia kehilangan kemampuan fisiknya dan membusuk di dalam tanah. Bagi seseorang, materialis lagu ini merupakan suatu utopia yang mencoba meyakinkan manusia bahwa ia tidak akan sirna karena jiwa yang terlepas dari tubuh akan abadi, dan mungkin hal ini sama utopisnya dengan mengharapkan keruntuhan kapitalisme.

Nietzsche dan Hujan

Sebelum kita melihat bagaimana hujan dan Nietzsche memiliki korelasi yang dapat dianggap penting, kita perlu bertanya kepada diri kita sendiri—sebagai suatu kontemplasi—bahwa di dalam waktu yang terbatas, kemampuan fisik yang terbatas, di tengah keadaan dan pengetahuan manusia yang serba terbatas, apakah kita sebagai manusia yang bebas masih layak untuk memikirkan dan menyesali masa lalu yang sebenarnya sudah tidak dimungkinkan untuk diubah? Tentu saja, hal tersebut jauh dari kata layak. 

Penyesalan terhadap masa lalu merupakan batu sandungan yang akan dijumpai di setiap fase kehidupan kita apabila masih terus disesali. Panta Rhei mencoba menjelaskan kepada kita tentang satu-satunya keabadiaan di dunia ini adalah perubahan.

Baca juga: Meninjau Karya Sastra dan Keraguan Kita

Nietzsche dan pemikirannya tentang nihilisme mengkaji beberapa fenomena-fenomena yang telah kita sebutkan di atas. Kehidupan dalam sudut pandang nihilisme pada dasarnya menjelaskan bahwa kehidupan diselimuti oleh kehampaan-kehampaan atau ketiadaan. Terdapat bentuk-bentuk yang beragam terkait dengan nihilisme, misalnya nihilism aktif dan pasif. Intinya, kehidupan itu tidak berarti. Dan berdasarkan hal tersebut, tidak ada hal-hal yang dapat kita anggap layak di dalam kehidupan untuk dijalani, dipertahankan, atau diperjuangkan.

Mengapa Nietzsche Dikaitkan dengan Hujan?

Pernyataan dan pembahasan ini mungkin sedikit terlihat motivasional. Hujan yang turun ke bumi dapat kita lambangkan sebagai hujaman empiris atau pengalaman yang telah dilalui oleh manusia. Bumi dan segala objek yang terguyur oleh hujan merupakan representasi manusia yang menerima setiap pengalaman, baik atau buruk, dari aktivitas yang dilakukannya. 

Nietzsche yang menggambarkan kehidupan—dalam sudut pandang nihilismenya—sebagai suatu ketiadaan dan kehampaan selaras dengan objek-objek yang terguyur oleh hujan. Misalnya, bebatuan yang senantiasa akan terkikis oleh air hujan. Batu tersebut tidak melakukan perlawanan—kita harus membayangkan bahwa ia (batu) merupakan representasi seseorang yang mampu menerima baik atau buruknya kehidupan—dan batu tersebut tetap teguh untuk menghadapi musim selanjutnya di masa yang akan datang. 

Kembali pada aspek kemanusian dan implikasinya bahwa hal baik atau buruk yang terjadi di masa lalu merupakan suatu kesia-siaan belaka yang tidak perlu untuk dibayangkan, bahwa segala perubahan yang terjadi setelahnya tidak dapat memberikan perubahan atas sesuatu yang telah berlalu. 

Masa lalu merupakan hal yang tidak layak untuk diperjuangkan kembali. Kita akan menghadapi dilema antara masa lalu dan masa kini. Kita terbiasa membuat perbandingan yang sebenarnya adalah kesia-siaan belaka. Perbandingan yang terbentuk merupakan hal yang pada dasarnya tidak objektif, ia dibuat berdasarkan perbedaan kompetensi yang dimiliki oleh seseorang dari fase yang berbeda-beda pula.

Nietzsche yang sudah menggambarkan kepada kita melalui nihilismenya bahwa kehidupan adalah kesia-siaan, kehampaan, atau ketiadaan belaka dapat selaras dengan hujan yang silih berganti turun dan bumi selalu menerima hujan tanpa adanya perlawanan yang berarti. Kunci untuk melepaskan masa lalu ketika hujan adalah “merelakan”.

Kehampaan hidup dan ketiadaan makna adalah syarat yang dibutuhkan dipenuhi seseorang untuk tidak memusingkan tentang masa lalu, tidak lagi terikat pada sesuatu, dan tidak lagi takut untuk menghadapi segala yang baik atau buruk. 

Kesimpulan

Hujan, Nietzsche, dan nihilisme merupakan hal-hal yang layak untuk dipertimbangkan sebagai cara yang efektif bagi seseorang untuk mengatasi permasalahan kemelekatan manusia terhadap kenangan-kenangan yang memusingkan. Misalnya, kenangan tentang mantan kekasih. Kenangan tersebut cukup mengganggu dan membuat trauma atau meratapi segala sesuatu yang tidak dapat diubah lagi, meski tidak jarang kita dapat menemukan pasangan-pasangan yang CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali) lagi. Pada dasarnya, ia melupakan bahwa apa yang terjadi di masa lalu tetap tidak dapat diperbaiki dan hubungan lama yang bersemi kembali adalah hubungan baru dalam konteks yang berbeda dari masa lalu. Ia tidak akan sama seperti saat-saat pertama kali hubungan itu terbentuk—merujuk pada Panta Rhei—hanya perubahan yang abadi.

Referensi:

Cioran, E. (2012). A short history of decay. Arcade Publishing.
Bloch, E. (2000). The spirit of Utopia. Stanford University Press.
Cioran, E. (2011). The temptation to exist. Arcade Publishing.
Marx, K., & Engels, F. (2007). Keluarga suci. Hasta Mitra.
Barnett, B. C. (2022). Pengantar filsafat: Epistemologi. Antinomi.

Editor: Widya Kartikasari
VIsual Designer: Al Afghani

Bagikan di:

Artikel dari Penulis