Memikirkan Kembali tentang Cinta

Memikirkan Kembali tentang Cinta

Memikirkan Kembali tentang Cinta – Dewasa ini, pembahasan mengenai cinta seringkali ditemui di media sosial. Hal ini dibuktikan dengan maraknya akun-akun quotes yang jeru nan romantis. Tak hanya itu, musik menye-menye dengan tema tentang cinta juga sedang digemari kawula muda. Kondisi ini menjadi sebuah gambaran bahwa kita, masyarakat saat ini, sedang haus akan cinta.

Namun, pernahkah kita sedikit meluangkan waktu untuk merenungkan apa itu sebenarnya cinta? Apakah cinta hanya dimaknai sebatas hubungan yang terjalin antara dua orang yang menjadi satu? Jika iya, cinta seharusnya adalah sesuatu yang melanggar kodrat manusia, karena manusia adalah individu yang unik dan terpisah satu sama lain. Lantas, mengapa cinta justru berusaha meleburkan hal tersebut dengan menyatukan dua orang yang berbeda?

Apa itu Cinta?

Pertama, saya akan mencoba memahami cinta yang marak beredar di pasar saat ini. Cinta dimaknai sebagai suatu perasaan mendayu-dayu, terlalu syahdu dan luar biasa untuk manusia yang serba terbatas. Karenanya, cinta adalah sebuah keajaiban. Cinta terjadi hanya pada waktu dan objek tertentu. Cinta adalah anugerah dari Sang Ilahi, yang diberikan pada orang-orang terpilih. Bukankah ini yang terjadi saat kita merasakan apa yang dinamakan dengan cinta pada pandangan pertama? Kita melihat seseorang untuk pertama kali, lalu muncul sebuah perasaan yang entah bagaimana kemudian diartikan sebagai cinta.

Baca juga: Mereka yang Dinamakan Cinta Sakral

Dalam kasus lain, cinta diartikan sebagai masalah dicintai daripada mencintai. Sebagian dari kita merasakan cinta adalah ketika kita dicintai oleh orang lain. Kita menempatkan diri sebagai sang agung yang layak untuk menerima semua cinta, sedangkan cinta milik kita hanya akan berlaku pada orang yang terpilih. Seseorang yang telah memenuhi kelayakan untuk dicintai.

Melalui keduanya, dapat ditarik kesimpulan bahwa kita saat ini memahami cinta sebagai tindakan pasif. Cinta adalah kemampuan untuk menunggu dengan sabar datangnya sosok yang terpilih (the chosen one). Hal ini yang kemudian berujung pada pencarian tiada henti pada sosok yang terpilih ini. Setiap hubungan akan menimbulkan pertanyaan, “Apakah ia adalah yang terpilih untukku?”

Erich Fromm dalam bukunya The Art of Loving mengatakan bahwa pemahaman tersebut bukanlah cinta, melainkan tak lebih dari sifat narsistik. Fromm melanjutkan bahwa cinta adalah sebuah tindakan aktif yang membutuhkan pengetahuan dan praktik. Cinta berarti bertahan di dalam (standing in), bukan jatuh (falling for). Mudahnya, cinta adalah sesuatu yang harus dipertahankan, bukan terus-menerus mencari kesempurnaan. Karakter aktif dari cinta digambarkan dengan pernyataan bahwa cinta pertama-tama adalah memberi, bukan menerima. Menurut Fromm, orang yang memberikan cinta akan lebih bahagia daripada yang menerima karena memberi bukan berarti kehilangan. Sedangkan tindakan memberi merupakan perwujudan bahwa diri benar-benar hidup. Sehingga, jauh sebelum dicintai, jadilah pribadi yang mencintai.

Cinta Relasional dan Transaksional

Salah satu sifat dasar manusia adalah transaksional, seberapa banyak yang kau berikan, maka aku akan memberikan dalam jumlah yang sama. Prinsip tersebut yang seringkali menjebak dalam hubungan antar manusia, termasuk dalam cinta. Sebagai contoh, sebelumnya saya mengatakan bahwa cinta adalah tindakan aktif dengan memberi, tetapi yang terjadi sekarang adalah, “Aku akan mencintai, jika aku sudah dicintai.”

Baca juga: Principles Economics: Analisa dan Logika dalam Cinta

Martin Buber, dalam bukunya I and Thou membagi pola interaksi manusia menjadi dua, yaitu I-It (Aku dan Dia) dan I-You (Aku dan Kau). Interaksi I-It atau transaksional adalah pola paling umum yang sering ditemui. Penggunaan It yang merujuk pada benda mengartikan bahwa kita melihat seseorang hanya sebagai objek. Sebagai alat yang akhirnya berguna bagi diriku.

Maka tak heran jika seringkali ditemui kasus bahwa suatu hubungan ‘cinta’ berakhir hanya karena salah satunya mengalami rasa kebosanan. Pola interaksi yang digunakan bersifat transaksional (I-It), bisa jadi seseorang mencintai orang lain karena memberikan pengaruh positif kepada dirinya, misalnya karena orang itu baik, humoris, dan lain sebagainya. Namun, apa jadinya jika sifat tersebut dinikmati dan dieksploitasi secara terus-menerus? Tentu saja, rasa cinta yang terjadi di awal akan berbalik menjadi rasa bosan.

Jika ditinjau melalui prinsip ekonomi, hukum Gossen I menyatakan bahwa: “Jika suatu barang/benda dikonsumsi secara terus menerus, rasa nikmatnya akan mencapai titik tertinggi di awal. Namun, semakin lama kenikmatan tersebut akan semakin menurun sampai menyentuh titik jenuh.”

Berbeda dengan I-It yang memandang seseorang sebagai objek (transaksional), I-You adalah hubungan yang memandang seseorang sebagai subjek (relasional). Hal ini berarti kita mengakui dan menerima dirinya sebagai manusia, termasuk apapun yang ada dalam dirinya. Dalam hubungan I-You kita diharapkan untuk menghayati kehadiran masing-masing.

Cinta I-You adalah cinta yang mampu bertahan karena dalam pola hubungan ini yang terjadi adalah dua individu yang mengakui bahwa mereka terikat satu sama lain. Namun, mereka tidak sepenuhnya melebur menjadi satu. Mereka sadar atau bahkan menghargai bahwa masing-masing dari mereka adalah makhluk individu yang unik.

Untuk menutup tulisan ini, serta sebagai bahan refleksi bersama, saya akan mengutip tulisan dari Buber, yaitu “Seseorang tidak dapat hidup tanpa transaksi, tetapi siapa saja yang hidup hanya dengan transaksi akan berakhir menjadi seorang monster.”

Editor: Widya Kartikasari
Visual Designer: Al Afghani

Bagikan di:

Artikel dari Penulis