Orang Miskin Jangan Mimpi Sukses, Kenyang Saja Belum Tentu

Orang Miskin Jangan Mimpi Sukses, Kenyang Saja Belum Tentu

Orang Miskin Jangan Mimpi Sukses, Kenyang Saja Belum Tentu – Hidup di bawah garis kemiskinan adalah kutukan. Tak ada jalan untuk keluar dari lingkaran ini. Sekalipun ada jalan keluarnya, saya yakin sekali hanya satu banding sekian ribu. Bukan bermaksud pesimis, namun memang menjadi orang miskin itu berat sekali, tak ada tempat untuk bertumpu. Memang mau bertumpu sama siapa? Tetangga? Wong sama-sama enggak punya duit. Mau bertumpu sama negara? Hehehe…

Selain itu, menjadi orang miskin juga harus rela serba salah. Kalau mau minta-minta ke orang, dibilang gak ada usahanya buat hidup. Kalau mau kerja, lapangan kerjanya susah. Sekalipun ada, harus rela tertindas. Ingin memperbaiki nasib dengan pendidikan, eh, sekolahnya mahal. Belum lagi, lingkungan sekolah yang masih tidak ramah orang miskin.

Selama saya mengenyam pendidikan, penindasan pada orang-orang miskin tak pernah absen di setiap jenjang yang saya lalui. Terutama ketika mendekati momen-momen tertentu seperti membeli buku, membayar kas, dan iuran-iuran lain. Bahkan, guru yang seharusnya digugu dan ditiru malah ikut-ikutan dengan menuntut mereka agar membayar sesegera mungkin. Padahal, saya yakin sekali kalau uangnya ada pasti sat-set langsung dibayar.

Baca juga: Gaji UMK adalah Jackpot bagi Tenaga Pendidik (Guru)

Pokoknya, orang miskin harus manut dan legowo. Seakan-akan derajat kemanusiaan mereka ini lebih rendah daripada manusia-manusia lain. Stigma yang tertanam dalam diri mereka adalah rakus, bodoh, dan barbar. Makanya kalau ada orang miskin yang enggak sesuai dengan label tersebut langsung jadi berita di media, seperti sebuah anomali. Pernah dengar berita mengenai anak tukang becak yang jadi sarjana? Atau, berita-berita sejenis di mana orang miskin melawan stigma yang tertanam pada dirinya?

Padahal menurut saya anak tukang becak yang lulus sarjana sama saja seperti anak pns, karyawan, tukang bengkel, bahkan pejabat yang jadi sarjana. Kok aneh sekali. Bahkan ketika mereka sudah mencapai pencapaian tertentu pun kemiskinan masih saja harus menempel pada diri mereka.

Di kasus yang berbeda, orang miskin adalah aset bagi orang kaya. Mereka harus tetap eksis untuk mendukung apapun keinginan si kaya dalam waktu dekat. Misalnya, ketika pemilihan pejabat-pejabat negara. Kehadiran si miskin yang sebelumnya dipandang rendah, di momen ini mereka menjadi sedikit istimewa. Mereka akhirnya diperhatikan, didengar, dan dianggap menjadi manusia yang setara.

Baca juga: Siapakah Kaya dan Siapakah Miskin?

Mereka juga akan menerima kedermawanan dari si kaya, pastinya berupa uang. Saking dermawannya, mereka mengirim uang tersebut diam-diam agar tak diketahui oleh orang lain. Syaratnya cuma satu, jangan lupa memilih mereka yang sudah memberi uang. Sepertinya segala hal yang berkaitan dengan orang miskin memang tak ada kebebasan.

Kisah dan tangis orang miskin adalah ladang uang bagi mereka yang bermoral. Mereka dengan senang hati mencari, atau bahkan riset mengenai orang miskin mana yang kisahnya paling memilukan dan perlu dibantu. Setelah riset, dengan gagah bak pahlawan mereka akan memberikan sejumlah uang asalkan orang-orang ini mau membagikan kisah dan air matanya sembari tersorot oleh kamera. Sedih sekali memang menahan malu demi melanjutkan hidup.

Dengan sistem yang masih begini-begini saja, saya rasa akan sangat amat sulit bagi orang miskin untuk sejahtera. Sejahtera saja sulit, apalagi sukses. Selamanya mereka dipaksa untuk tetap menjadi miskin, sedangkan di lain sisi, masyarakat menganggap bahwa kemiskinan adalah salah mereka sendiri yang malas, bodoh, dan tak mau berusaha. Lantas, mau sampai kapan mereka harus tertindas? Salah seorang rekan saya mengatakan bahwa orang miskin itu enggak ingin kaya, mereka cuma ingin hidup tenang. Edan, mau hidup tenang aja kok dipersulit.

Editor: Firmansah Surya Khoir
Visual Designer: Al Afghani

Bagikan di:

Artikel dari Penulis