Jejak Dakwah Islam Sayyid Jalaluddin Al-Aidid di Sulawesi Selatan – Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara memiliki catatan unik yang tidak ditemukan di belahan dunia lainnya. Proses islamisasi di Nusantara nyaris tak menuai penolakan atau konflik sama sekali dari masyarakat Nusantara. Itu sebabnya secara garis besar, strategi dakwah ulama Sulawesi bersifat apresiatif dan damai.
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan
Masyarakat Sulawesi Selatan dikenal sebagai komunitas yang sangat religius. Selain mayoritas penduduknya beragama Islam, mereka juga mempunyai tradisi keagamaan yang kuat dalam berbagai aktivitas kesehariannya. Taufik Abdullah mengemukakan bahwa Aceh dan Sulawesi Selatan merupakan dua daerah dengan pengaruh Islam yang sangat kuat.
Kuatnya komunitas masyarakat Sulawesi Selatan terhadap religiusitas, tentu tidak terlepas dari kedatangan atau peranan para pendakwah yang mengembangkan agama Islam pertama kali di daerah Sulawesi Selatan. Berdasarkan catatan sejarah, Islam di daerah Sulawesi Selatan dibawa oleh ulama dari Arab dan Melayu generasi pertama, yakni:
- Abdul Makmur Khatib Tunggal (Dato Ribandang),
- Khatib Sulung Sulaiman (Dato Ripat Timang),
- Maula Abdul Jawad Khatib Bungsu (Dato Ritito).
Selain mereka, ulama generasi berikutnya seperti Syekh Yusuf Al-Makassariy dan Sayyid Jalaluddin Al-Aidid juga berperan penting dalam penyebaran Islam
Baca juga: Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar Al-Hamid, Penyebar Islam di Klungkung Pulau Bali
Menurut catatan sejarah Kerajaan Gowa, sejak awal abad ke-16, saudagar Melayu (orang-orang Muslim) sudah menetap di Makassar. Sumber lain mengatakan bahwa Islam mulai diterima secara resmi pada tahun 1603, ketika tiga kerajaan besar di Sulawesi Selatan—Gowa, Tallo, dan Luwu—memeluk Islam.
Pendapat lain menyebutkan bahwa Raja Tallo, Imallingkaang Daeng Manyonri, adalah yang pertama masuk Islam dan kemudian bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Setelah itu, Raja Gowa ke-14, Baginda Imangnga’rangi Daeng Manrabia, juga masuk Islam dan bergelar Sultan Alauddin. Islam pun menjadi agama resmi kedua kerajaan ini sekitar tahun 1605 M. Berdasarkan berbagai sumber, Islamisasi di Sulawesi Selatan diperkirakan terjadi antara tahun 1603-1607 M (Rama, 1996).
Peran dan Dakwah Sayyid Jalaluddin Al-Aidid di Sulawesi Selatan
Pasca fase penerimaan Islam oleh kerajaan-kerajaan Makassar, tahap berikutnya adalah proses penguatan ajaran-ajaran Islam. Salah satu tokoh yang berperan dalam proses ini adalah Sayyid Jalaluddin Al-Aidid. Sebagaimana diuraikan dalam teks berjudul “Hikayat Sayyid Jalaluddin Al-Aidid”, beliau merupakan seorang ulama yang hijrah dari Kutai ke Gowa.
Setelah tiba di Gowa, beliau menuju istana Kerajaan Gowa. Ketika bertemu dengan raja Gowa, terjadilah dialog. Sayyid Jalaluddin mengatakan bahwa dirinya adalah menantu raja gowa karena menikahi I Yacara Daeng Tamami, putri Sultan Abdul Kadir, yang merupakan saudara kandung raja Gowa di Kutai. Namun, Sayyid Jalaluddin tidak diakui sebelum memenuhi dua syarat, yakni membuktikan keilmuan dan keberanian.
Baca juga: Raden Sayyid Agil bin Muhammad Ba’abud dan Pendidikan Pesantren di Purworejo
Untuk memenuhi syarat tersebut, Sayyid Jalaluddin kemudian pergi ke Cikoang untuk bertemu hulubalang bernama Bunrang dan Danda. Setelah melihat kehebatan ilmu dan keberanian Sayyid Jalaluddin, kedua orang tersebut luluh. Sejak saat itu, Sayyid Jalaluddin Al-Aidid beserta keluarga menetap di Cikoang dan mulai mengembangkan ajaran Islam (Ilyas, 2022).
Sayyid Jalaluddin tidak serta-merta mengubah praktik keagamaan masyarakat. Sebaliknya, ia menyebarkan ajaran Islam secara bertahap. Awalnya, ia tidak langsung mengajarkan shalat, tetapi lebih dulu memperkenalkan konsep mengenal Allah Swt. dan mencintai Nabi Muhammad Saw. Ajaran-ajarannya dituangkan dalam syair-syair keagamaan yang disebut Rate.
Rate dan Tradisi Maudu Lompoa
Rate adalah kumpulan syair yang berisi inti ajaran Islam serta riwayat atau kisah Nabi Muhammad Saw. Syair-syair ini juga biasanya dibacakan dalam acara keagamaan untuk mengenang Nabi Muhammad. Pembacaan Rate biasanya dilakukan dengan lagu atau irama tertentu (khas Makassar Cikoang). Biasanya, Rate dibacakan oleh sepuluh orang dan berlangsung sekitar dua atau tiga jam (Haspitasari, 2023).
Selain itu, Sayyid Jalaluddin Al-Aidid juga mewarisi tradisi Maudu Lompoa. Secara etimologis, Maudu Lompoa terdiri dari dua kata, yaitu Mudu yang berarti maulid dan Lompoa berarti Akbar. Sehingga, Maudu Lompoa adalah Peringatan Maulid Nabi yang Besar. Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada 29 Rabiul Awal, dengan perayaan yang paling meriah dan diselenggarakan secara besar-besaran (Kasim, 2023).
Daftar Referensi
Rama, B. (1996). Metode Penyebaran Islam Pada Awal Berkembangnya di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Pusat Penelitian IAIN Alauddin Ujung Pandang.
Ilyas, H. F. (2022). Hikayat Sayyid Jalaluddin Al-Aidid: Edisi Teks, Ajaran, Ritual, dan Jaringannya. Makassar: Desertasi Pascasarjana Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.
Kasim, Y. u. (2023, Oktober 15). Meriahnya Perayaan Maulid Nabi Muhammad ‘Maudu Lompoa’ Ala Suku Makassar. Diambil kembali dari detik.com.
Haspitasari, A. (2023). Konsep A’rate Dalam Tarekat Syekh Jalaluddin Al-Aidid di Desa Cikoang. Makassar: Skripsi Prodi Akidah & Filsafat Islam UIN Alauddin Makassar.