Masih Adakah Genderuwo di Istana? Mari Tanya Fadli Zon — Puisi adalah seni, begitu pendapat pelbagai ahli. Tapi jangan salah, seni kadang juga bersinggungan sama politik. Kalau bahasa gampangnya, puisi yang nyenggol-nyenggol kekuasaan biasanya jadi tools buat perlawanan, propaganda, atau sekadar refleksi kritis. Dari Chairil Anwar yang melawan generasi sebelumnya dengan “Surat Kepercayaan Gelanggang”, W.S. Rendra yang nyindir Orde Baru, sampai Taufiq Ismail dengan puisi-puisi protesnya, puisi sudah biasa dipakai buat ngomongin isu yang “berat-berat”, kayak politik.
Salah satu contoh puisi yang pernah menggemparkan dunia politik adalah “Ada Genderuwo di Istana” karya Fadli Zon. Diterbitin di akun Twitter-nya tanggal 11 November 2018, puisi ini langsung rame dibahas orang. Kenapa? Karena isinya sindiran tajam buat pemerintah waktu itu (era Pak Jokowi). Tapi buat saya, sih, puisi ini enggak cuma kritik politik. Ada hal yang lebih dalam kalau kita telaah—tentang mitologi, kekuasaan, dan politik ketakutan yang nyaru-nyaru gitu.
Begini bunyi puisinya.
Ada Genderuwo di Istana
ada genderuwo di istana
tak semua orang bisa melihatnya
kecuali yang punya indra istimewa
makhluk halus rendah strata
menakuti penghuni rumah penguasa
berubah wujud kapan saja
menjelma manusia
ahli manipulasi
tipu sana tipu sini
ada genderuwo di istana
seram berewokan mukanya
kini sudah pandai berpolitik
lincah manuver strategi dan taktik
ada genderuwo di istana
menyebar horor ke pelosok negeri
meneror ibu pertiwi
11 November 2018
Simbol Genderuwo dalam Politik
Kalau baca puisi ini, saya jadi ingat istilah yang agak keren: Disrupsi Identitas. Genderuwo di sini menjadi simbol kekuasaan yang fleksibel dan manipulatif. Gimana enggak? Genderuwo digambarkan sebagai sesuatu yang susah dilihat kecuali oleh orang yang punya “indra istimewa”. Artinya, kekuasaan itu seringkali enggak jelas bentuknya. Kadang populis, kadang teknokrat, kadang religius, kadang pragmatis. Tergantung situasi politik yang lagi rame.
Nah, menurut Wendy B. Faris (biar enggak salah nyebut), hal ini termasuk dalam elemen realisme magis. Identitas kekuasaan jadi kabur, antara nyata atau enggak, antara yang kelihatan atau yang tersembunyi. Kekuasaan bisa berubah wujud, kayak genderuwo yang “ahli manipulasi, tipu sana tipu sini”. Seperti genderuwo yang bisa berubah wujud, penguasa pun dapat bertransformasi sesuai dengan kebutuhan mereka.
Baca juga: Analisis Pendekatan Struktural pada Puisi “Sembahyang Rumputan” Karya Ahmadun Yosi Herfanda
Dari sudut pandang pascakolonial, ada pola divide et impera juga dalam puisi ini. Gaya pecah belah ala Belanda dulu, sekarang kayak masih kepake. Elite politik sering berganti wajah, tapi strukturnya enggak jauh beda dari zaman kolonial. Genderuwo dalam puisi ini, mungkin saja, menjadi simbol dari sistem yang nggak berubah-ubah: bikin rakyat bingung, takut, dan sulit buat melawan.
Lanjut lagi, kalau memakai kacamata realisme magis, puisi ini juga mainin konsep disrupsi waktu dan ruang. Genderuwo, yang seharusnya cuma ada di mitologi Jawa, tiba-tiba “nongkrong” di istana, pusat kekuasaan modern. Kebayang, kan? Tempat yang harusnya rasional, tiba-tiba ada makhluk supranatural yang menyebar horor ke seluruh negeri. Ini menunjukkan bahwa politik di Indonesia kadang enggak logis-logis amat. Mistis, gelap, penuh ketakutan kolektif.
Politik Ketakutan yang Berulang
Sejak zaman kolonial, politik ketakutan sudah dipakai buat mengontrol masyarakat. Belanda bikin mitos bahwa pribumi enggak bakal bisa ngatur diri sendiri, jadi butuh penguasa. Setelah merdeka, pola itu masih dipelihara. Dari Orde Baru, dengan hantu komunismenya, sampai zaman sekarang—hantu radikalisme, separatisme, dan sebagainya. Genderuwo di puisi ini tak ubahnya warisan dari politik ketakutan yang enggak kelar-kelar.
Coba deh liat bagian ini:
“seram berewokan mukanya / kini sudah pandai berpolitik / lincah manuver strategi dan taktik.”
Bagian ini seolah menggambarkan elite pascakolonial yang sudah melek politik. Mereka bukan lagi penjajah asing, tapi kelakuannya mirip. Manipulasi, propaganda, strategi pecah-belah—semua masih dipakai. Dulu, merdeka harusnya buat rakyat, tapi yang pegang kuasa malah itu-itu aja. Genderuwo itu bisa siapa aja yang nyaman duduk di kursi empuk kekuasaan.
Kesederhanaan yang Menggigit
Menurut Teeuw, puisi pamflet adalah puisi protes yang menyerukan perlawanan terhadap ketidakadilan dan membela kaum tertindas. Dalam konteks ini, Puisi “Ada Genderuwo di Istana” jelas masuk kategori ini, dengan lebih mengandalkan isi ketimbang bentuk estetika yang rumit. Bahasanya lugas, enggak pake simbol yang njelimet. Tapi justru di situlah kekuatannya. Pesan politiknya langsung menusuk, gampang dicerna, kayak puisinya W.S. Rendra atau Taufiq Ismail zaman dulu.
Baca juga: Kesederhanaan Cinta dalam Puisi “Aku Ingin”
Menariknya, genderuwo itu tokoh mitologi yang gampang dimengerti semua orang. Dengan memakai simbol ini, metafora kekuasaan yang menakutkan, bikin narasinya makin nempel di kepala rakyat biasa. Strategi yang cerdas, sih, apalagi di tengah budaya populer kita yang doyan mistis.
Pertanyaan untuk Pak Fadli Zon
Dari berbagai analisis, menurut saya, puisi ini bukan cuma sindiran ke satu rezim, tapi lebih ke kritik sistemik. Genderuwo itu simbol dari politik ketakutan, manipulasi, dan propaganda yang sudah ada sejak dulu, dan kayaknya masih terus dipelihara sampai sekarang. Sebagaimana genderuwo dalam mitologi Jawa yang suka nyaru jadi siapa aja buat ngecoh manusia, politik Indonesia juga kayak gitu: penuh bayang-bayang, penuh ilusi, identitasnya nggak jelas, rakyatnya dibuat bingung terus.
Tapi, gini, Pak Fadli Zon… Kalau boleh tanya, sekarang Genderuwo itu masih ada enggak di istana? Atau sudah pindah tempat? Atau malah tambah banyak? Saya cuma rakyat biasa yang enggak punya “indra istimewa”, Pak. Jadi, kalau Bapak berkenan kasih pencerahan, biar kami tahu, siapa sebenarnya yang mesti kita takuti, siapa yang mesti kita percayai?
Tabik.
Tangsel, 2025