Biografi Stephen Hawking, Ilmuwan yang Berhasil Mengungkap Misteri Black Hole – Stephen Hawking adalah seorang ilmuwan yang mendedikasikan dirinya untuk mengungkap misteri black hole. Berkat jasanya tersebut, ia sering memperoleh julukan “master alam semesta” atau “Einstein kedua”. Karyanya yang paling terkenal adalah bukunya yang berjudul A Brief History of Time (1988).
Tidak hanya teorema black hole, perjuangan pantang menyerah pada penyakit ALS yang diderita Hawking selama lima dekade, membuat kisah hidup Hawking layak dikenang. Kisah hidup Stephen Hawking diabadikan dalam film dengan judul The Theory of Everything (2014).
Kehidupan awal
Hawking lahir dengan nama lengkap Stephen William Hawking pada 8 Januari 1942. Ia lahir dari pasangan dengan latar belakang medis. Ayahnya, Frans Hawking adalah peneliti medis sukarelawan untuk pasukan medis saat Perang Dunia Kedua. Sedangkan, ibunya, Isobel Eileen Walker merupakan mantan sekretaris peneliti medis.
Meski kedua orang tuanya tinggal di London, Stephen Hawking dilahirkan di Oxford. Ada fakta menarik mengenai hal ini. Semasa Hawking masih dalam kandungan ibunya, Perang Dunia Kedua sedang berlangsung. Dalam perjanjian semasa Perang Dunia Kedua, Jerman berjanji tidak akan mengebom Oxford dan Cambridge selama Inggris tidak mengebom Heidelberg dan Gottingen. Sehingga saat itu, Isobel memilih melahirkan Hawking di Oxford demi keamanan.
Stephen Hawking memiliki tiga adik. Dua adik kandungnya adalah Mary dan Philippa serta seorang adik angkatnya yang bernama Edward.
Masa muda
Hawking mulai bersekolah saat berusia empat tahun. Saat itu, ia disekolahkan di Bryon House School di Highgate, Inggris. Di sekolah ini, Hawking merasa tidak memperoleh pelajaran apapun. Saat ia berusia 10 tahun, ayahnya mendaftarkannya ke Westminter, salah satu sekolah terbaik di Inggris. Sayangnya, saat ujian seleksi masuk, Hawking jatuh sakit sehingga ia gagal menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Akhirnya, ayahnya mendaftarkannya ke sekolah setempat yang tidak kalah bagus, yakni St. Albans School.
Baca juga: Biografi Ada Lovelace, Programmer Pertama di Dunia
Pada masa awal Hawking menempuh pendidikan di St. Albans School, dapat dikatakan prestasi akademiknya biasa-biasa saja. Bahkan, pada tahun pertama bersekolah, Hawking menempati posisi 3 terbawah. Namun, pada saat ia berusia 14 tahun, ia menunjukkan bakat jeniusnya dalam mata pelajaran Matematika dan Fisika.
Ayah Hawking menaruh harapan yang besar pada Hawking untuk menempuh pendidikan yang sama dengan dirinya, yakni jurusan kedokteran. Namun, kecintaan Hawking pada Fisika dan Matematika tidak dapat diganggu gugat. Ayahnya akhirnya membebaskan Hawking untuk bebas memilih jurusan yang diinginkannya.
Setelah mengikuti ujian seleksi masuk universitas, tidak tanggung-tanggung Hawking memperoleh undangan dari Oxford University dan tawaran beasiswa dari kampus ayahnya dulu, University College. Dihadapkan pilihan tersebut, Hawking memilih untuk menempuh pendidikan tingginya di Oxford University.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Oxford University, Hawking melanjutkan pendidikannya di Cambridge University jurusan Kosmologi, cabang ilmu astronomi yang mempelajari asal-usul alam semesta.
Mengidap penyakit ALS
Masa awal perkuliahan Hawking di Cambridge University harus diiringi dengan pengalaman yang tidak menyenangkan pada tubuhnya sendiri. Ia sering menabrak ketika berjalan dan sulit berbicara dengan jelas. Kakinya pun sering terasa loyo. Kondisi tersebut terus berlanjut hingga ia pulang ke rumah kedua orang tuanya untuk menghabiskan liburan Natal pertamanya selama berkuliah Cambridge. Kondisi tubuhnya yang parah tersebut mendorong ayah Hawking untuk membawa Hawking ke dokter. Hawking pun memperoleh diagnosis menderita penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) dan hanya memiliki waktu hidup kurang dari dua tahun.
Baca juga: Biografi Mahatma Gandhi, “Bapak Bangsa” India yang Melawan Tanpa Kekerasan
Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) merupakan penyakit yang mempengaruhi saraf motorik, seperti sel-sel saraf di otak dan sumsum tulang belakang. Penyakit ini akan menurunkan kemampuan otak dan kemampuan seseorang untuk makan, berbicara, bergerak, bahkan bernapas.
Penyakit ALS ini membuat Hawking yang saat itu berusia 21 tahun depresi dan mengurung dirinya sendiri. Namun, seiring waktu berjalan, Hawking kembali menemukan semangat hidupnya. Selain terdorong untuk menyelesaikan pendidikan doktoralnya, ia juga semangat setelah bertemu dengan Jane Wilde di salah satu pesta akhir tahun kenalan Hawking.
Pengaruh dan jasa Stephen Hawking
Saat berkuliah di Cambridge, Hawking mengagumi astronom sekaligus professor Fred Hoyle. Hawking berharap ia dapat dibimbing oleh Hoyle. Namun, Hoyle menolak permintaan tersebut karena saat itu Hoyle telah memiliki banyak anak bimbing. Sebagai gantinya, Hoyle menyaranan Hawking untuk memperoleh bimbingan dari fisikawan dan kosmolog Dennis Sciama.
Pada 1965, Dennis Sciama mengajak Hawking untuk datang ke seminar Roger Penrose. Penhouse sendiri merupakan fisikawan dan matematikawan asal Inggris yang terkenal dengan teorema singularitasnya. Hawking tertarik dengan teori tersebut dan kemudian berkerja sama dengan Penrose untuk mengembangkan teori tersebut. Akhirnya, pada 1970, Hawking-Penrose menyatakan bahwa alam semesta berawal dari Big Bang dan berakhir di black hole yang akan menguap dan lenyap.
Hawking kemudian melanjutkan penelitian mengenai black hole secara mandiri. Pada 1971, Ia menggagas Hawking’s Black Hole Theorem. Teorema ini diperoleh oleh Hawking setelah berhasilkan menurunkan Teori Relativitas milik Einstein.
Pada 1974, Hawking kembali menemukan teori Hawking Radiation. Meski awalnya, teori ini banyak ditentang, teori ini akhirnya dapat diterima dan mengantarkan Hawking menjadi bagian dari Royal Society, penghargaan bergengsi bagi ilmuwan selain penghargaan Nobel.
Selanjutnya, Hawking berhasil menulis sebuah buku berjudul A Brief History of Time pada 1988. Buku ini merupakan buku kosmologi populer yang ditujukan bagi pembaca awam. Usulan menulis buku ini diperoleh dari sahabat Hawking yang bernama Mitton.
Pada 2020, rekan peneliti Hawking, Roger Penrose berhasil meraih Penghargaan Nobel Fisika. Penelitian Penrose tersebut sedikit banyak dipengaruhi dan dibantu oleh penelitian yang dulu ia lakukan bersama Stephen Hawking.
Penganut Atheis
Hawking dikenal sebagai ilmuwan yang atheis atau tidak percaya pada Tuhan. Bagi Hawking, alih-alih diatur Tuhan, alam semesta lebih diatur oleh hukum sains. Di dalam bukunya, The Grand Design, Hawking menulis:
“Karena adanya hukum seperti gravitasi, tata surya dapat dan akan membentuk dirinya sendiri. Penciptaan spontan adalah alasannya mengapa sekarang ada ‘sesuatu’ dan bukannya kehampaan, mengapa alam semesta ada dan kita ada. Tidak perlu memohon kepada Tuhan untuk memulai segalanya dan menggerakan alam semesta.”
Bahtera rumah tangga Stephen Hawking
Stephen Hawking menikah dengan Jane Wilde pada 1965. Pernikahan tersebut dikaruniai tiga orang anak: Robert yang lahir pada 1967, Lucy yang lahir pada 1970, dan Timothy pada 1979.
Tidak seperti karirnya yang mulus, rumah tangga Hawking mengalami keretakan. Sekitar tahun 1980-an, Jane mengundang Jonathan Hellyer-Jones, soerang musisi yang juga bekerja di gereja lokal untuk membantu kesehariannya. Seiring berjalannya waktu, Jane dan Jonathan semakin dekat. Pada 1990, Hawking akhirnya memutuskan pindah dari rumahnya tersebut dan tinggal bersama perawatnya, Elaine Mason.
Pada 1995, Hawking akhirnya menikahi Elaine. Beberapa bulan setelahnya, Jane dan Jonathan juga menikah. Namun, pernikahan Hawking dan Elaine harus menghadapi perceraian juga setelah menjalani 11 tahun pernikahan.
Kematian
Setelah memperoleh diagnosis memiliki sisa umur kurang dari dua tahun saat berusia 21 tahun, ternyata Hawking mampu bertahan hidup hingga kurang lebih 55 tahun lamanya. Stephen Hawking wafat pada 14 Maret 2018 di Cambridge, Inggris.
Referensi:
https://www.zenius.net/blog/biograf-stephen-hawking-ilmuwan
https://www.zenius.net/blog/biografi-stephen-hawking
https://www.biografiku.com/biografi-stephen-hawking/
Illustrator: Natasha Evelyne Samuel