Siapa yang Patut Disalahkan dalam Sebuah Keputusan?

Siapa yang Patut Disalahkan

Siapa yang Patut Disalahkan dalam Sebuah Keputusan?

Bisakah orang lain benar-benar memengaruhi kita dalam mengambil keputusan? Atau jika diparafrase, bisakah kita menyalahkan orang lain atas suatu keputusan yang telah dibuat?

Beberapa waktu lalu, seorang aktor Korea Selatan sempat menjadi perbincangan hangat atas rumor yang menimpanya. Hal ini terjadi setelah seseorang yang mengaku mantan pacar Si Aktor mengekspos perilaku buruk yang bertolak belakang dengan image baiknya. Hal yang paling membuat publik geram adalah Si Aktor mencoba merayu sang mantan pacar—yang saat itu tengah hamil—untuk melakukan aborsi, dengan menjanjikan pernikahan di masa depan.

Terlepas dari kontroversi akan kebenaran rumor tersebut, ada hal yang menarik yang bisa dibahas dari kasus ini: bisakah kita menyalahkan orang lain atas keputusan yang kita buat?

Tulisan ini dibuat bukan atas tendensi untuk membela suatu pihak. Melainkan murni untuk membahas fenomena menyalahkan orang lain.

Terlepas dari kontroversi atas pandangan boleh tidaknya aborsi, seharusnya, keputusan untuk mempertahankan kandungan atau melakukan aborsi mutlak menjadi keputusan perempuan itu sendiri. Hal ini sejalan dengan banyaknya aktivis feminis yang kerap menyuarakan hak perempuan atas tubuhnya sendiri. 

Biasanya, seorang perempuan akan mempertimbangkan untuk melakukan aborsi atau tidak ketika mengalami kehamilan yang tidak direncanakan (unplanned pregnancy). Sebelum mengambil keputusan, penting untuk mempertimbangkan dan mementingkan kebutuhan, pemikiran, perasaan, nilai, dan keyakinan yang dimiliki perempuan yang bersangkutan. Dan sebisa mungkin tidak dipengaruhi oleh orang lain. 

Ini bukan berarti pasangan tidak diperbolehkan terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Akan tetapi, lebih menekankan bahwa keputusan akhir tetap ada pada si perempuan—sebagai orang yang sedang hamil. Selain pasangan, pengambilan keputusan juga dapat melibatkan orang tua, teman, bahkan tenaga profesional untuk mendiskusikan berbagai kemungkinan dari berbagai perspektif. Namun, terkadang perbedaan nilai dan pandangan dapat menyebabkan pertimbangan tidak mengarah pada pengambilan keputusan yang baik. Dan pengambilan keputusan tentang kehamilan (antara mempertahankan kandungan atau aborsi) berubah menjadi perkara siapa yang punya kontrol dalam suatu hubungan atau menjadi cara seseorang untuk mengendalikan orang lain. 

Misalnya, orang tua memaksa seorang gadis korban pemerkosaan dinyatakan hamil untuk mempertahankan kandungannya. Atau dalam kasus Si Aktor, si mantan pacar  mengklaim bahwa Aktor tersebut memaksa dirinya untuk melakukan aborsi lantaran ditakutkan adanya tuntutan penalti atau ganti rugi jika bayi itu dilahirkan. 

Dalam kondisi ini, penting untuk menyatakan dengan tegas bahwa keputusan mutlak tetap berada di tangan perempuan yang bersangkutan, walaupun orang-orang sekitar mencoba untuk memaksakan kehendak mereka.

Mengingatkan lagi, tulisan ini bukan menitikberatkan perihal aborsi—melainkan boleh tidaknya seseorang menyalahkan orang lain atas keputusan yang kita ambil. Yang salah satunya, dalam kasus Si Aktor, adalah menyalahkan orang lain atas keputusan melakukan aborsi.

Penjabaran di atas adalah salah satu contoh bagaimana suatu keputusan diambil—dengan mempertimbangkan banyak hal. Pertimbangan tersebut bisa saja datang dari berbagai arah. Namun, kuasa untuk menentukan suatu pilihan atas diri kita adalah kita sendiri. Maka agak aneh rasanya jika menyalahkan orang lain atas keputusan yang kita ambil.

Sama halnya dengan Si A yang mengaku gagal diet akibat temannya menawarkan nasi padang atau donat coklat berkalori tinggi. Benarkah ini kesalahan si teman? Bisakah A menyalahkan temannya? Sedangkan ia sendiri yang memutuskan untuk makan? 

Atau si B yang dipaksa orang tuanya untuk belajar di jurusan Kedokteran. Benarkah demikian? Bisakah orang tuanya benar-benar memaksanya untuk kuliah Kedokteran? Mungkinkah orang tuanya menyeret si B untuk berangkat kuliah?

Bisakah orang lain benar-benar memengaruhi kita dalam mengambil keputusan? Atau jika diparafrasa, bisakah kita menyalahkan orang lain atas suatu keputusan yang telah kita buat?

Alasan seseorang menyalahkan orang lain (blaming) biasanya sebagai pelarian dari rasa bersalah. Ketika timbul perasaan bersalah akan suatu hal, menyalahkan orang lain merupakan hal yang paling mudah dilakukan untuk menghilangkan perasaan tersebut dan memproyeksikannya kepada orang lain. 

Saat menentukan pilihan, jika keputusan yang diambil membuahkan hasil yang diinginkan, kita tentu akan bersyukur. Rasanya tidak ada orang yang akan menyalahkan orang lain atas hal baik yang terjadi. Akan tetapi, ketika keputusan yang dibuat tidak sesuai ekspektasi atau berujung tidak baik, untuk mengurangi beban atau perasaan tidak nyaman, blaming adalah hal termudah untuk dilakukan.

Karena termasuk hal yang mudah, terkadang secara otomatis kita memilih untuk menghindar dari tanggung jawab atas permasalahan yang sedang dihadapi. Dengan melempar beban ini kepada orang lain dan menempatkan diri sebagai korban, dengan atau tanpa kita sadari, kita telah menyakiti orang lain. Hal ini dapat berujung pada keretakan suatu hubungan, baik itu pertemanan, rekan kerja, pasangan, atau keluarga.
Agar terhindar dari perbuatan menyalahkan orang lain, pola pikir yang harus kita punya adalah it’s okay to make mistake. Tidak ada salahnya untuk membuat kesalahan. Dengan begitu, kita akan lebih fokus pada diri sendiri dengan membaca dan mengenali emosi kita, hingga pada akhirnya berdamai dengan kesalahan tersebut dan menjadikannya pembelajaran untuk terus bertumbuh. Sebaliknya, ketika kita mulai mencari celah untuk menyalahkan orang lain, tanpa disadari kita lebih terfokus pada orang lain, alih-alih fokus pada diri kita.

Bagikan di:

Artikel dari Penulis