Menjadi Pluralis yang Simpel dan Tidak Neko-Neko – Mungkin sering kita jumpai, sejumlah orang yang getol menggaungkan semangat pluralisme dalam laku-lampah kehidupan sosial mereka. Cara mereka mengekspresikan semangat tersebut pun terwujud dalam berbagai rupa-warna yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Sebagai satu contoh sederhana, kawan saya sendiri. Dirinya, kalau boleh dibilang tampaknya adalah pemuja paham pluraslime akut. Kendati entah itu sekadar fashion semata ataukah ada motif yang lain? Sebab sejauh yang saya ketahui, ia senang sekali mengoleksi pakaian-pakaian bernapaskan pluralisme: kaus, hoodie, atau jaket jeans, lengkap dengan sablon-sablon, serta berbagai macam atribut tertentu yang dimaksudkan sebagai alegori dari ideologi yang biasa dinisbatkan pada nama Gus Dur tersebut.
Emblem besar di punggung dengan berbagai simbol agama seperti bulan dan bintang, salib, swastika, dan sebagainya, disusun secara berbanjar atau terkadang melingkar seakan ingin menyuarakan “kita semua adalah saudara kawan!”, adalah satu di antara berbagai atribut itu. Cara-cara mengekspresikan semangat pluralisme yang demikian ini, agaknya bukanlah satu masalah yang berarti, atau sederhananya sah-sah saja.
Hanya saja, belum lama ini saya sempat membaca cuitan salah seorang warganet yang setidaknya bagi saya pribadi cukup memantik api kegelisahan dalam diri. Dalam sebuah utas twitnya dia, warganet yang saya maksud itu, menulis demikian:
“Pluraslime itu saat ia menyanyikan// Muhammadku Muhammadku,
Aku Hindu aku Hindu// Gautama panutanku//
Tuhan Yesus tiap Minggu!!!”
Membaca cuitan yang quotable begitu saya berani bertaruh, syaraf-syaraf motorik yang tertanam pada jari-jemari warganet tentu dibuat meronta-ronta, seakan gegas ingin meretweet cuitan tersebut.
Bagi saya pribadi, cuitan itu sekilas tampak jenaka dan masuk akal. Saya toh bahkan sempat tergelak juga membacanya. Akan tetapi saya merasa kata pluralisme di atasnya, dengan lirik lagu yang sudah direkonstruksi sedemikian rupa itu tanpa disadari sedang saling menegasikan diri, layaknya sepasang kekasih yang entah bagaimana tampak saling memunggungi.
Lagi-lagi saya rasa ada semacam pengkerdilan makna yang dilakukan sedikit ceroboh, yang kalau boleh saya menduga tersebab kepentingan konten belaka. Asal otak-atik-masuk, sudah!
Ini mengingatkan saya tentang teori komodifikasi. Barangkali, tanpa pernah kita nyana dan sadari, pola pikir komodifikasi sudah menjangkiti setiap daripada isi kepala warganet. Betapa tidak, cuitan pun dewasa ini telah dipandang sebagai sebuah komoditas, yang artinya ada peralihan dari daya fungsi menjadi daya jual dalam praktiknya.
Semuanya berpangkal pada tujuan yang variatif antar individu. Mulai dari tujuan yang sifatnya material semacam berduyun-duyunnya endorsement, atau dalam wujud yang sederhana tetapi menimbulkan kepuasan batin bagi pihak bersangkutan, sekadar beroleh like dan retweet berjumlah ribuan.
Membincangkan pluralitas tidak bisa tidak, selalu berjalin-kelindan dengan heterogenitas sebuah masyarakat yang dibentuk oleh etnis, ras, agama, dan kondisi sosial yang majemuk. Dalam kondisi masyarakat yang majemuk khususnya menyangkut keyakinan beragama, gejala kekerasan dan bentrok antar golongan lantaran perbedaan iman dan akidah, agaknya memanglah sesuatu yang riskan terjadi.
Pada kondisi yang demikian, pluralisme hendak mengambil peran sebagai pelukan hangat seorang “ibu” yang tiada pernah membeda-bedakan, ia mengayomi semua anak-anaknya. Hanya saja, saya rasa dan lagi-lagi saya rasa, konsep daripada pluralisme terkadang memang menuai kesalahpahaman pada sebagian orang. Ada mode pemaknaan yang agaknya diambil dari sisi literalnya saja. Bahwa di mata pluralisme, semua agama yang ada identik dan sama belaka.
Ya. Di sanalah akar masalahnya. Anggapan-anggapan sembrono yang kemudian melahirkan kesembronoan-kesembronoan baru; cuitan seorang warganet yang telah di singgung di atas, mungkin di antaranya. Padahal, jika ditilik lebih jauh lagi, bila direnungi lebih mendalam lagi, pemaknaan atas pluralisme yang demikian itu tak ubahnya mengukur kedalaman sebuah perigi dengan hanya sebatang lidi, permukaannya pun tak sampai tergapai, bukan?
Menganggap semua agama adalah sama barangkali sah-sah saja. Sebab, ya memang dalam konsep monoteisme, semua agama sama-sama merujuk kepada satu Tuhan, Yang Maha Tunggal. Kendati demikian anggapan yang seperti ini saya pikir kurang tepat untuk tidak menjustifikasinya sebagai anggapan yang keliru. Bagaimana tidak? Dalam ikhwal tata-pelaksanaan ibadah, semua agama yang mereka anggap identik dan sama belaka itu, bahkan mempunyai kaifiyah yang berbeda satu dengan lainnya.
Dan justru, fakta yang demikian inilah yang kemudian melahirkan pluralisme agama. Maka kemudian, menganggap semua agama adalah sama justru bertolak belakang dengan pluralitas agama itu sendiri. Ada sisi humanis yang tidak bisa begitu saja dikesampingkan, lebih-lebih dilangkahi begitu saja.
Akan sangat sulit untuk kita bayangkan, seseorang yang menggembar-gemborkan semangat pluralisme kemudian melaksanakan idealismenya dengan mengubah mantra-mantra, atau bacaan-bacaan tertentu, yang digunakan pada ritus ibadat Umat Hindu di Pura, dengan kalimat-kalimat dalam Mushaf Al-Qur’an, misalnya. Atau mungkin sebaliknya. Alih-alih menggaungkan semangat pluralisme yang heroik, yang terjadi justru dia sedang membawa semangat yang ia sunggi menyimpang jauh dari lajur yang semestinya.
Bagaimana mungkin dia yang berkoar-koar tentang pluralisme, sebagai seyogyanya pelaku rupanya malah tidak menghormati sebuah kemajemukan pluralitas umat beragama yang padahal kemajemukan sendiri merupakan galih jantung dari pluralisme, bukan? Maka kemudian, agaknya saya lebih merasa nyaman dan sepakat dengan ayat yang disampaikan oleh Rasul dalam Q.S Al-Kafirun. Bahwa untuk menjadi seorang pluralis, sebetulnya simpel dan tidak perlu neko-neko, cukuplah “lakum diinukum waliyadiin!”.