Organisasi Hebat, Esai Gagal: Alasan Aktivis Organisasi Sering Tersingkir di Meja Beasiswa – Penyebab mengapa anak organisasi sering kesulitan lolos beasiswa, meski pengalaman mereka beragam, bukanlah hal yang baru diperbincangkan. Penulis harus mengakui bahwa menulis esai beasiswa tidak seperti menulis esai populer yang sering dilakukan oleh aktivis organisasi dan mempublikasikannya di media-media nasional untuk dibaca khalayak ramai. Menulis esai beasiswa adalah menulis keunikan, keunggulan, pencapaian, rencana pendidikan, dan rencana masa depan pribadi. Esai beasiswa tidak dimaksudkan untuk menyebutkan posisi jabatan di organisasi sebagai apa. Melainkan untuk menunjukkan pengalaman yang berdampak positif yang sudah dan sedang dilakukan serta memiliki andil atau kontribusi aktif selama di kampus, organisasi, masyarakat, dan tempat kerja.
Sejak September 2023, penulis banyak menghabiskan waktu dalam melakukan pendampingan beberapa aktivis organisasi yang ingin melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang magister atau doktor. Membaca puluhan esai membuat penulis menemukan pola kebiasaan yang dilakukan aktivis organisasi. Mereka tidak hanya kurang cakap dalam menonjolkan keunggulan diri, tetapi juga kurang pandai meyakinkan tim seleksi. Penyebabnya tentu datang dari kebiasaan yang tidak pernah diasah selama berorganisasi. Baik dari pola pikir, kemampuan menulis, kebiasaan yang menunda-nunda hingga wawasan yang terbatas.
Berikut kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan dan penyebab-penyebab mengapa aktivis organisasi sering tersingkir dari panggung perebutan beasiswa.
Pola Pikir dan Kebiasaan
Tidak jarang penulis menemukan esai beasiswa yang hanya menyebutkan posisi jabatannya di organisasi. Tanpa menuliskan peran yang telah dilakukan, dampaknya terhadap dirinya dan orang lain serta peran kontribusinya yang spesifik nan konkret. Banyak dari mereka menuliskan hanya sekedar daftar fakta, saya ketua A, saya koordinator B. Terus kenapa kalau Anda ketua? Saingan Anda tentu saja punya pengalaman yang sama, bahkan pernah memimpin organisasi yang lebih besar dan berdampak positif. Terus apa keunggulan Anda? Sama sekali tidak menarik di mata reviewer beasiswa.
Kebiasaan ini seringkali dilakukan ketika berorganisasi. Satu contoh, ketika pengurus organisasi ingin mengadakan sharing session dan mengundang pembicara. Hal umum dan tidak berbobot yang paling sering mereka lakukan adalah ketika membacakan curriculum vitae pembicara. Mereka hanya sekedar membaca daftar fakta terkait pengalaman jabatan organisasi atau pekerjaan si pembicara, tanpa menyebutkan perannya, kontribusinya, serta pencapaiannya yang seharusnya diapresiasi. Pola pikir dan kebiasaan ini kemudian berlanjut ketika mereka menulis esai beasiswa, yaitu sekedar menyebutkan posisi jabatan mereka yang tidak jelas apa fungsi dan dampaknya.
Baca juga: Beasiswa Bank Indonesia, Rekomendasi untuk Kalian Para Mahasiswa!
Tidak Menyeimbangkan Aktivitas dengan Akademik
Mengungkapkan aktivitas organisasi yang terlalu dominan, tanpa menunjukkan bagaimana Anda tetap menjaga keseimbangan dengan akademik, dapat menimbulkan keraguan terhadap kemampuan manajemen waktu dan kapasitas akademik Anda. Apakah esai Anda ditujukan untuk melamar ke sebuah organisasi atau melamar beasiswa? Kenapa poin pentingnya hanya seputar organisasi? Apakah Anda salah jurusan sehingga tidak punya keunggulan akademik? Sudah barang pasti tidak dilirik oleh panelis beasiswa. Sebab niat melanjutkan studi terlihat bukan untuk meningkatkan potensi akademik, melainkan hanya untuk melanjutkan aktivitas organisasi.
Pengalaman akademik yang tidak ditonjolkan tentu tidak akan menjadi prioritas bagi penyelenggara beasiswa dan tidak akan membuat Anda menonjol di antara kandidat lainnya. Hal ini biasanya diakibatkan oleh minimnya refleksi terhadap pengalaman pribadi secara akademik sehingga membuat esai terasa hambar dan kurang autentik. Esai yang terasa generik dan tidak memperlihatkan keunikan individu tentu akan gagal menciptakan koneksi emosional dengan pembaca.
Gaya Penulisan dan Persiapan yang Minim
Jangan selalu beranggapan bahwa orang yang pintar berbicara dan aktif di organisasi memiliki keterampilan menulis yang baik. Banyak juga dari mereka yang tidak bisa menulis formal atau akademik. Saking parahnya, mereka menganggap semua orang di dunia tahu dan kenal organisasi mereka dengan kebiasaan menggunakan istilah internal organisasi mereka. Misalnya, ketika ingin menyebutkan posisi jabatan atau proses regenerasi, mereka sering menggunakan istilah MUBES/MUSYCAB, Pimpinan Cabang/Koordinator Wilayah (PC/Koorwil) yang sudah pasti asing bagi banyak orang, apalagi untuk tim seleksi beasiswa di luar negeri. Proses penulisan esai yang baik juga ditentukan dari seberapa banyak waktu yang diluangkan. Persiapan yang minim tentu akan memperparah gaya penulisan, memperbesar potensi kesalahan teknis, serta menciptakan struktur esai yang bertele-tele.
Pola buruk ini juga terbentuk dari kebiasaan mereka di organisasi. Selama masa mahasiswa, mereka malas membaca. Tentu saja mereka juga sangat jarang melatih keterampilan menulis formal atau akademik mereka karena lebih sering berkomunikasi lisan dalam organisasi. Keangkuhan sering membuat mereka merasa sudah cukup kompeten, sehingga kurang refleksi dan usaha ekstra dalam membuat esai. Terkadang, proses penulisan juga menggunakan sistem kebut seminggu atau bahkan semalam dan lebih parahnya tanpa bantuan mentor atau orang lain untuk memberi masukan yang objektif.
Baca juga: Duka Abadi Mahasiswa Organisasi: Di-ghosting Sampai Pontang-Panting Sendiri
Wawasan yang Terbatas dan Rencana Kontribusi yang Tidak Jelas
Anak organisasi sering gagal menghubungkan aktivitas yang sudah dan sedang dilakukan dengan masalah yang ingin diselesaikan dan tawaran solusi yang diusulkan. Mereka tidak sepenuhnya tahu apa kekurangan mereka saat ini sehingga membutuhkan studi lanjut. Mereka juga tidak mengerti apakah dengan rencana studi yang diusulkan benar-benar membantu menyelesaikan persoalan yang disoroti. Memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi, termasuk menentukan kampus tujuan, tentu telah melewati riset dan pertimbangan yang mendalam. Akan tetapi, kemampuan riset dan pertimbangan tersebut tidak semua dimiliki oleh anak organisasi.
Tidak heran jika penilai beasiswa merasa kandidat tersebut tidak memiliki visi dan konsistensi yang relevan untuk program beasiswa, dan tentunya potensi rencana kontribusi kandidat di masa depan diragukan. Kemampuan membaca dan menguraikan masalah serta rencana kontribusi penyelesaiannya adalah hal penting untuk menunjukkan pemahaman yang komprehensif dan menawarkan ide inovatif.
Kelemahan ini pada dasarnya telah terbentuk saat mereka di organisasi. Contohnya, ketika mereka mengadakan rapat kerja pimpinan. Tentunya program-program baru atau lama yang akan dilakukan telah menyesuaikan kebutuhan setiap organisasi. Akan tetapi, program yang mereka usulkan sering kali tidak dirancang dengan spesifik dan konkret. Program tersebut harus mencakup target yang tidak hanya sekedar ingin dicapai, tetapi juga harus tercapai, bagaimana cara mencapainya, apa saja hambatan yang akan dihadapi, bagaimana mengatasinya, dan lain sebagainya.
Kesalahan-kesalahan tersebut menyebabkan peluang mereka lolos seleksi menjadi lebih kecil, meskipun memiliki pengalaman organisasi yang kaya. Penyelenggara beasiswa mencari individu dengan kemampuan reflektif, wawasan luas, serta rencana konkret yang sejalan dengan nilai beasiswa. Oleh karena itu, penting untuk melatih kemampuan menulis, melakukan riset mendalam, dan menghubungkan pengalaman dengan visi masa depan.