Fenomena Mahasiswa Data dan Aktivis Data yang Muncul Belakangan Ini – Dalam bahasa agama secara de facto manusia kalah berkuasa dan kalah menentukan. Namun, perihal ini banyak yang lupa bahkan double damage lupa atas kehendak dan kuasa Tuhan.
Maksud saya, manusia hanya mengibarkan bendera setelahnya yang menentukan arah gebyar bendera adalah angin. Bisa juga tidak berkibar atau malah terbang tersapu badai puting beliung yang dimana itu juga ciptaan Tuhan. Meminjam formula dan perspektif min haitsu la yahtasib: di luar tata hitungan manusia.
Simbol dari imaji ketidakberdayaan manusia adalah karakter superiornya yang lupa akan siapa hero utama di dalam semesta. Ini juga sering terjadi dalam aktivitas doa dan usaha yang katanya menjadi faktor utama kesuksesan.
Mungkin seperti dawuh kiai orisinil Gus Baha “Yang paling penting dari doa itu adalah pengakuan bahwa kita ini lemah dan butuh Allah. Soal hajatmu terkabul atau tidak, itu tidak penting. Allah sudah tahu. Kalau sudah begitu, baru berlaku kaidah. Doa adalah ruhnya ibadah”.
Kalau kita melengos acuh pada ritual syar’i di atas ya bisa jadi apa-apa yang kita genggam sekarang dan perjuangkan mati-matian atau juga seperti penggalan lirik Pamer Bojo “Teles kebes netes eluh cendol dawet”. Dalam artian basah kuyup oleh perjuangan sampai air mata menetes. Ternyata didapat hanya es cendol dawet semata. Ups!
Ada yang namanya mahasiswa-data. Apalagi di masa serba ga shiaappp ini kata netizen halilintar, tentunya akan banyak mahasiswa yang menyandang gelar ini. Bahkan predikat kumlodeee pakai qolqolah kubro.
Apa itu mahasiswa-data? Yakni khazanah ilmu dan wacana pengetahuan yang studi konsentrasinya dimasukkan ke dalam flash-disk dan selalu setia dengan mbah google. Di mana langsung klik satu ketukan: muncullah ilmu-ilmu, teori-teori, dan informasi yang sekali akses akan dimakan semua oleh mahasiswa-data. Sungguh rakus bukan? Tapi rakus untuk jadi pintar gapapa kan?
Baca juga: 4 Tips untuk Mahasiswa Agar Cepat Rampung Skripsi
Secanggih itu. Mudah dan cepat, efisien dan praktis, serta enggak memikul beban berat. Cukup pakai ponsel yang beratnya tidak sampai setengah kilo sudah bisa menjadi otak berjalan seseorang atau sebagai directories of data. Seluruh isi diskursus satu ilmu tersedia dengan software program yang sederhana. Bahkan seluruh isi Al-Quran pun termuat dalam satu aplikasi dan tidak memerlukan lebih dari 50 MB.
Sederhananya seperti ini, jika kamu kuliah jurusan Hukum Keluarga Islam yang di dalamnya menyangkut islam (dari kandungan teologi, filosofi, fiqh dan ushul fiqh, semua bentuk qiyas, ijtihad, illat atas sebuah hukum dan apa saja) hanya memerlukan tidak lebih dari sebutlah 1 GB. Yang harga memori itu hanya dua puluh ribu – tiga puluh ribu bukan?
Sungguh kuliah selama 4 tahun atau bahkan sampai berbonus jika disandingkan dengan memori berdiameter tidak lebih dari 2 cm itu setara bukan? Impas semuanya? Yuk aksi, sungguh tak adil. “Sungguh teganya oh tega” kata sang raja dangdut bang Rhoma.
Sedangkan otak manusia memiliki lebih dari hal itu. Jadi tenang, jangan merasa terzalimi rekk! “Cukup baca ini saja”. Otak manusia punya kecanggihan operasional dan keluasan memori yang beribu-ribu persen melebihi kapasitas komputer Intel generasi pertama sampai generasi yang belum muncul di pasaran dengan segala jenis software-nya.
Jadi ya, yang mahasiswa-data dengan data-data andalan serta alat terbaik yaitu inovasi. “Pliss jangan jumawa, tetap rendah hati dan banyak istigfar. Jangan sampai sombong, ngopi saja perlu data lengkap penjual beserta teman-temannya. Kan ga jadi ngopi!”.
Ini juga terjadi pada aktivis-data. Ukuran kita mengenainya bisa dikatakan aktivis ya, karena data digital dan rekam jejak video dengan rekaman ciamik atau yang lagi viral. Berani di depan kamera dan diundang di acara TV bergensi. Fix, auto jadi aktivis. Lah kok simpel banget ya? Emang udah ngapain aja? Yakin membela yang tertindas? Terus udah menyusuri jalan terjal ribuan kali seperti lagu Buruh Tani?
Eits, saya klarifikasi di awal: ini tidak untuk memojokkan siapa-siapa. Namun, memojokkan euforia semu yang seperti kembang api 2 ribuan.
Aktivis mahasiswa itu enggak bisa dinilai cuma dari penampilan, kegiatan organisasi, sampai keterlibatan dia di dalam aksi-aksi!
Keliatannya doang membela hak rakyat, aslinya yaaaa ngincar inpo bayaran atau tawaran kursi panas. Eh.
Rumus jadi Aktivis itu soal rasa, istiqamah, dan gerakan. Entah bagaimana penampilan terbaik yang sampeyan (kamu) sukai (acak-acakkan, rapi, klimis, necis, maupun versi anak hijrah) itu enggak masalah. Asal kamu punya rasa peduli terhadap manusia lain (rakyat miskin) yang membutuhkan. Ya, minimal yang ada di perempatan tuh jangan digass aja motornya, ada penjual koran dan pengamen bisa kita bagi rezeki kita, tak harus besar kok. Patungan gopek per anak kan bisa.
Berat memang rasa peduli terhadap lingkungan. Apalagi rasa peduli terhadap agama, bangsa dan negara. Apabila kamu sudah melakukannya, maka bisa dibilang kamu sudah jadi mahasiswa setengah aktivis.
Lantas, kita printout dalam laku-tutur kata dan kita sebar ke masyarakat, bahkan harus sampai ke gang-gang buntu sekalipun. Membuat khalayak kagum dan tidak sia-sia atas pekerjaan baik yang kita lakukan. Entah, itu mahasiswa-data atau aktivis-data. Selamat berjuang. Rasa hormat itu, tampaknya menular secara perlahan melalui kopi pahit yang sedang saya seruput. Hidup mahasiswa dan aktivis! Jangan lupa ngopi. Maturnuwun.