Jejak Dakwah Sayyid Ibrahim Ba’abud Kharbasani: Dari Tarekat hingga Pendirian NU di Wonosobo

Sayyid Ibrahim Ba’abud Kharbasani

Jejak Dakwah Sayyid Ibrahim Ba’abud Kharbasani: Dari Tarekat hingga Pendirian NU di Wonosobo — Sejarah keilmuan masyarakat dapat dilacak melalui berbagai aspek kehidupan, salah satunya melalui kegiatan sosial keagamaan yang diajarkan oleh para ulama. Ulama bagi masyarakat adalah sosok panutan, baik dalam perkataan maupun perilaku. Seperti dikatakan oleh Imam Hasan al-Bashri, “Lau la al-‘ulama’ lashāra al-nās kal-bahā’im”—Andai bukan karena ulama, manusia bagaikan binatang (Usman, 2019).

Pernyataan ulama asal Bashrah tersebut menunjukkan betapa pentingnya keberadaan ulama dalam kehidupan manusia. Ulama ibarat cahaya di tengah kegelapan, pembimbing jalan dalam menjalani kehidupan duniawi. Mereka adalah mursyid (pembimbing) manusia dalam beribadah kepada Allah Swt.

Di Indonesia, jumlah ulama sangat banyak. Salah satunya adalah Sayyid Ibrahim Ba’abud Kharbasani dari Wonosobo, Jawa Tengah.

Biografi Sayyid Ibrahim Ba’abud Kharbasani

Nama Wonosobo berasal dari dua kata: wana (bahasa Jawa Kuno, berarti hutan) dan saba (berarti mengunjungi). Maka, Wonosobo berarti “hutan yang sering dikunjungi”. Pada awal abad ke-19 M, wilayah ini mengalami perkembangan sosial-keagamaan yang dibawa oleh para keturunan Nabi Muhammad Saw, yang dikenal dengan sebutan habib atau sayyid.

Dalam buku Rabithah Alawiyyah Indonesia dicatat bahwa salah satu marga keturunan Nabi yang datang ke Wonosobo adalah marga Ba’abud. Secara etimologis, Ba’abud dalam bahasa Arab berarti “orang yang banyak beribadah”. Ada tiga kelompok yang menggunakan gelar Ba’abud, yakni Ba’abud Kharbasani, Ba’abud Dabjan al-Abdullah Ba’alawi, dan Ba’abud Maghfun al-Ammul Faqih. Ketiganya berasal dari cabang yang berbeda, meskipun menyandang nama yang sama (Isbacuhunuri, 2023).

Baca juga: Bu Nyai Arinal Mila: Sosok Hafidzoh Qur’an yang Rendah Hati

Ba’abud yang menetap di Wonosobo berasal dari cabang Kharbasani, termasuk Sayyid Ibrahim Ba’abud. Ia lahir di Kauman, Wonosobo, pada tahun 1864 dari pasangan Sayyid Ali Ba’abud dan Syarifah Khadijah. Nama lengkapnya adalah Sayyid Ibrahim bin Ali bin Hasyim bin Idrus bin Muchsin bin Umar bin Muchsin bin Abdullah Ba’abud Kharbasani.

Sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, Sayyid Ibrahim sejak kecil telah mendapatkan pendidikan agama dari orang tuanya. Ia juga belajar kepada Sayyid Hasyim bin Yahya (kakek dari Habib Luthfi bin Yahya) dan Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Atthas di Pekalongan. Selanjutnya, ia melanjutkan studi ke Makkah dan belajar kepada ulama besar seperti Sayyid Zaini Dahlan dan Syekh Nawawi al-Bantani.

Di Makkah, Sayyid Ibrahim mendalami ilmu fikih dan mendapatkan sanad Tarekat Syatthariyah. Ilmu inilah yang kemudian ia gunakan dalam dakwah Islam di Wonosobo dan kawasan pegunungan Dieng. Selain berdakwah, ia juga berdagang. Hasil usahanya membuatnya memiliki sawah, perkebunan, dan tanah, sebagian di antaranya diwakafkan untuk pendirian masjid. Beberapa masjid yang didirikannya antara lain berada di Desa Serang, Kejajar, dan Dieng (Shidiq, 2023).

Jejak Dakwah: Dari Tarekat hingga Pendirian NU

Sejak berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926, para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mulai mendirikan cabang-cabang NU di berbagai daerah. Melalui Lajnah Nasihin (lembaga dakwah), mereka menyebarkan ajaran NU hingga ke Banten, Lombok, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, termasuk Wonosobo, Jawa Tengah (Muzan, 2013).

Menurut berbagai sumber, pembentukan NU di Wonosobo diprakarsai oleh Sayyid Ibrahim Ba’abud, KH. Hasbullah, KH. Abdullah Mawardi, KH. Asy’ari Kalibeber, Atmodimejo, dan Habib Abu Bakar Assegaf. Struktur pertama PCNU Wonosobo mencatat Sayyid Ibrahim sebagai Rais Syuriah, Sayyid Muchsin bin Ibrahim Ba’abud sebagai Katib Syuriah, dan Habib Abu Bakar Assegaf sebagai sekretaris. Meskipun telah aktif sejak 1929, pengukuhan resmi baru dilakukan setelah Muktamar ke-6 NU di Cirebon (26–29 Agustus 1931), bertempat di rumah Sayyid Ibrahim, dan dihadiri langsung oleh KH. Wahab Hasbullah (Shidiq, 2023).

Baca juga: Sayyid Alwi Jamalullail: Penyebar Islam di Tanah Mandar, Sulawesi Barat

Selain sebagai Rais Syuriah, Sayyid Ibrahim juga dikenal sebagai mursyid Tarekat ‘Alawiyyah dan Syatthariyah. Tarekat ‘Alawiyyah adalah tarekat warisan para habaib, sementara Tarekat Syatthariyah ia ajarkan kepada masyarakat Wonosobo. Melalui pendekatan tarekat ini, ia juga mengajak masyarakat bergabung ke dalam Jam’iyah Nahdlatul Ulama.

Ketekunan, keuletan, dan kepiawaian Sayyid Ibrahim dalam berdakwah membuahkan hasil nyata. NU di Wonosobo berkembang pesat hingga ke berbagai desa, menjaring ribuan anggota. Hal ini dibuktikan dengan adanya Rosyidul ‘Udhwiyah (kartu tanda anggota) yang ditandatangani oleh Sayyid Ibrahim dan Sayyid Muchsin Ba’abud pada 1 Maret 1935. Murid-murid Sayyid Ibrahim pun tersebar hingga ke berbagai daerah seperti Ngadirejo (Temanggung), Kendal, Batang, Banjarnegara, hingga Purworejo (Shidiq, 2023).


Daftar Referensi

Muzan, A. (2013, September 10). Habib yang Menjadi Rais Syuriyah Wonosobo Pertama. Diakses dari nu.or.id

Usman, B. (2019, November 21). Lima Fungsi dan Peran Strategis Ulama. Diakses dari mpu.bandaacehkota.go.id

Isbacuhunuri, Q. A. (2023). Diaspora Ba’alawi Ba’abud dan Peranannya di Wonosobo, 1820–1950 M. Yogyakarta: Skripsi Sejarah dan Kebudayaan Islam, UIN Sunan Kalijaga.

Shidiq, N. (2023). Sejarah Perkembangan Islam di Wonosobo (Historiografi Ulama dan Pesantren). Wonosobo: UNSIQ Press.

Bagikan di:

Artikel dari Penulis