Bu Nyai Arinal Mila: Sosok Hafidzoh Qur’an yang Rendah Hati

Bu Nyai Arinal Mila

Bu Nyai Arinal Mila: Sosok Hafidzoh Qur’an yang Rendah Hati “Kulo niki tiyang bodo, mboten nate mondok.” 

(Saya ini orang yang bodoh, tidak pernah mondok).

Demikian kata yang sering terucap dari Bu Nyai Arinal Mila ketika saya sowan ke kediaman beliau di Desa Tawangargo, Karangploso, Malang. Sebuah ungkapan yang menggambarkan kerendahan hati orang yang mengucapkannya. Sebuah ungkapan yang mencerminkan kerendahan hati, yang terasa langka di tengah zaman di mana banyak orang merasa pintar dan mengaku ahli.

Bu Nyai Arinal Mila, yang akrab disapa Bu Nyai Rin oleh warga sekitar, adalah putri dari KH. Asnawi Ishaq dan Bu Nyai Sa’adah. Ia merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara. Salah satu adiknya, KH. Nahrul Ulum (Gus Nahru), kini meneruskan estafet kepemimpinan ayahnya dengan mengasuh Pondok Pesantren Syafa’atul Qur’an di Lang-lang, Singosari, Malang. KH. Asnawi Ishaq sendiri berasal dari Garum, Blitar, dan menjadi menantu dari Al-Maghfurlah KH. Istamar Hanafi setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Syafa’atul Qur’an, asuhan KH. Istamar. Sebelumnya, Kiai Asnawi juga pernah nyantri di Pondok Raudlatul Ulum, Kencong, Kediri, di bawah asuhan KH. Zamroji.

Pendidikan dan Hafalan Al-Qur’an

Arinal Mila lahir pada tahun 1967. Meskipun pendidikan formalnya hanya sampai Madrasah Ibtidaiyah (setara SD), sejak kecil ia sudah mendapat pendidikan agama yang kuat, khususnya dalam bidang tahfidzul Qur’an, dari sang kakek, KH. Istamar Hanafi. Bu Nyai Rin bercerita bahwa masa kecilnya banyak dihabiskan di kamar sang kakek. Ia mengenang sosok KH. Istamar sebagai pribadi yang istiqamah dalam mengajar dan mengulang hafalan Al-Qur’an, meskipun penglihatannya sudah tidak sempurna.

Suatu kali, KH. Istamar pernah berpesan kepada KH. Asnawi:

“Mulang arek siji, loro, utowo akeh iku podo ae. Sing penting iku istiqomah.”
(Mengajar anak satu, dua, atau lebih banyak lagi itu sama saja. Yang terpenting adalah istiqamah).

Baca juga: KH. Munir Hasan dan Keteladanan yang Tak Pernah Padam

Sejak kelas 6 SD, Arinal Mila mulai menyetorkan hafalan Al-Qur’an kepada sang kakek. Dalam kurun waktu tiga tahun, ia berhasil mengkhatamkan 30 juz. Proses itu ia jalani di sela-sela membantu ibunya dan mengasuh keenam adiknya. Sanad Al-Qur’an Bu Nyai Rin bersambung kepada Mbah Munawwir Krapyak melalui KH. Istamar Hanafi yang mengambil sanad dari KH. Mufid Mas’ud, pengasuh Pondok Pesantren Sunan Pandanarang, Klaten, yang juga merupakan menantu dan santri kesayangan Mbah Munawwir. Selain dari kakeknya, Arinal Mila juga pernah mengambil sanad dan belajar secara takhasus kepada KH. Musta’in Syamsuri, pengasuh Pondok Pesantren Darul Qur’an, Watu Gede, Singosari, selama kurang lebih satu tahun. Kelak, KH. Musta’in menjadi mertua dari adiknya, KH. Nahrul Ulum, yang kini mengasuh Pondok Pesantren Syafaatul Qur’an.

Merintis TPQ Darul Haq

Pada tahun 1987, Arinal Mila menikah dengan Masrukhin, salah satu santri ayahnya yang berasal dari Desa Tawangargo, Karangploso, Malang. Pasca menikah dengan Gus Masrukhin, ia mengikuti suami tinggal di Desa Tawangargo. Setelah menikah, mereka tinggal di desa tersebut dan dikaruniai empat orang anak: satu putri dan tiga putra (yang wafat saat masih bayi). Bu Nyai Rin, sebagai anak kiai sekaligus cucu dari ulama besar, mewarisi semangat dakwah dari ayah juga kakeknya. Ia bersama suami mulai merintis pendidikan Al-Qur’an di surau kecil yang terletak di samping rumah mertuanya. Saat itu, surau tersebut menjadi tempat belajar bagi sekitar 50 anak.

Baca juga: KH. Munir Hasan dan Keteladanan yang Tak Pernah Padam

Waktu berlalu, dan surau tersebut berkembang menjadi lembaga pendidikan yang lebih formal. Dari satu kelas menjadi dua, lalu terus bertambah. Bersama suaminya, Bu Nyai Rin menamai lembaga tersebut dengan nama TPQ Darul Haq. Pembangunannya dilakukan secara gotong royong dengan masyarakat. Meski beberapa kali menyodorkan proposal ke pemerintah setempat, tidak ada yang berhasil mendapat bantuan. Wabakdu, gedung TPQ Darul Haq dapat berdiri dan berkembang dengan pembiayaan yang berasal dari uang pribadi Kiai Masrukhin dan Bu Nyai Arinal Mila, serta bantuan swadaya masyarakat sekitar.

Melanjutkan Dakwah di Tengah Duka

Tahun 2015, Kiai Masrukhin wafat. Meski kehilangan besar itu mengguncang Bu Nyai Rin, ia tetap melanjutkan perjuangan dakwahnya dengan sabar dan istiqamah. Hingga kini, setelah 10 tahun kepergian suaminya, lebih dari 300 santri belajar di TPQ Darul Haq setiap harinya.

Melanjutkan Dakwah di Tengah Duka

Ketika saya sowan ke rumah Bu Nyai Rin, saya mencoba bertanya banyak hal, berharap mendapat pencerahan. Namun, jawabannya membuat saya malu atas kesombongan saya.

Apa nasihat Kiai Istamar kepada Anda, Bu Nyai?

Ia menjawab dengan rendah hati, “Mboten nate pesen nopo-nopo” (tidak pernah berpesan apa-apa).

Berapa juz yang Anda baca setiap hari?

Beliau tersenyum, “Kulo niki tiyange males” (saya ini tipikal orang yang malas).

Apa resep agar anak cinta dan mampu menghafalkan Al-Qur’an?

“Anak kulo mawon mboten hafal Al-Qur’an” (Anak saya saja tidak hafal Al-Qur’an).

Bagaimana agar diberi kemudahan dalam menghafal Al-Qur’an?

“Riyin, abah kulo, Kiai Asnawi, ngendikan ngatah-ngatahaken maos Ya Mubdi’ Ya Khaliq. Diwaos bakda Dzuhur 21x, bakda Ashar 22x, bakda Maghrib 23x, bakda Isya’ 10x. InsyaAllah diparingi gampang.”

(Dulu, ayah saya, Kiai Asnawi, menyarankan memperbanyak membaca Ya Mubdi’, Ya Khaliq setelah sholat Dzuhur 21 kali, Ashar 22 kali, Maghrib 23 kali, dan Isya’ 10 kali. InsyaAllah dimudahkan.)

Wallahu a’lam.

Bagikan di:

Artikel dari Penulis