Gus Dur: Guru Bangsa yang Pluralis dan Humanis

Gus Dur: Guru Bangsa yang Pluralis dan Humanis – “Memuliakan manusia berarti memuliakan pencipta-Nya, merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan pencipta-Nya.”

–Ajaran-Ajaran Gus Dur: Syarah 9 Nilai Utama Gus Dur

Sosok pluralis dan humanis sangat melekat pada sosok Abdurrahman Wahid, atau yang kerap dipanggil Gus Dur, seorang sosok nasionalis yang sekaligus menjadi presiden keempat Indonesia. Ia adalah seorang guru bangsa dan pemikir besar yang dikenal sebagai pemimpin, pejuang hak asasi manusia, serta inspirasi bagi generasi lintas agama, suku, dan budaya.

Bukan hanya sebagau presiden, ia juga seorang tokoh yang menempatkan pluralisme dan humanisme sebagai inti dari seluruh perjuangannya. Dalam buku Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid yang ditulis Greg Barton, nilai-nilai ini terlihat begitu kuat mewarnai hidup dan karya Gus Dur.

Pluralisme dalam Pemikiran dan Tindakan Gus Dur

Pluralisme Presiden RI keempat ini tidak muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil perjalanan hidup yang kaya akan keberagaman. Barton mencatat bahwa ia tumbuh dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU) yang inklusif, serta mendapatkan pendidikan dari Timur Tengah dan Barat. Pengalaman ini membentuk pandangannya bahwa agama dan budaya dapat hidup berdampingan secara harmonis.

Ketika menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Dur memimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia untuk mempromosikan toleransi. Salah satu langkahnya adalah membuka ruang dialog antaragama dan mengembangkan gagasan Islam yang ramah terhadap tradisi lokal. Baginya, agama bukanlah alat untuk menonjolkan superioritas, tetapi sebagai sarana untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan dan sesama.

Dalam kepemimpinannya, ia kerap mengambil langkah yang mendukung kelompok minoritas. Salah satu momen penting adalah kebijakannya mencabut larangan terhadap kebudayaan Tionghoa pada tahun 2000. Tindakan ini menjadi simbol bahwa keberagaman etnis dan budaya bukanlah ancaman, melainkan kekayaan yang harus dirangkul.

Humanisme sebagai Prinsip Utama

Sebagai seorang humanis, Gus Dur meyakini bahwa nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi prioritas dalam berpolitik dan beragama. Barton menggambarkan bagaimana ia selalu menempatkan manusia di atas aturan-aturan kaku yang sering disalahgunakan untuk menindas. Baginya, agama yang tidak membawa kemaslahatan bagi manusia telah kehilangan esensinya.

Sikap humanis tokoh agama ini terlihat jelas dari keberaniannya membela kelompok marjinal, meski sering menuai kritik dari berbagai pihak. Ia membela hak komunitas Ahmadiyah, Syiah, dan kelompok lain yang dianggap menyimpang oleh arus utama. Ia melihat mereka sebagai manusia yang memiliki hak untuk diperlakukan secara adil, tanpa memandang keyakinan mereka.

Bahkan dalam situasi sulit, ia menunjukkan keberpihakannya pada kemanusiaan. Ketika menghadapi pemakzulan sebagai presiden, ia memilih untuk tidak mengorbankan stabilitas bangsa demi ambisi pribadi. Keputusan ini mempertegas bahwa bagi Gus Dur, melayani rakyat lebih penting daripada mempertahankan kekuasaan.

Warisan Gus Dur yang Tetap Relevan

Gus Dur meninggalkan jejak yang tidak hanya terlihat dalam kebijakan-kebijakannya, tetapi juga dalam gagasan dan semangatnya. Buku biografi yang ditulis Greg Barton mengingatkan kita bahwa Gus Dur bukan hanya seorang politisi, tetapi juga seorang pemikir yang percaya bahwa keberagaman adalah fondasi bagi kemajuan bangsa.

Di dunia yang sering terpolarisasi, warisan Gus Dur tetap relevan. Keberanian, kebijaksanaan, dan humanismenya adalah contoh bagaimana seorang pemimpin seharusnya bersikap. Ia tidak hanya berjuang untuk Indonesia, tetapi juga untuk kemanusiaan secara universal.

Abdurrahman Wahid pernah berkata, “Kemanusiaan adalah inti dari semua agama.” Ucapan ini mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk menghormati perbedaan dan memuliakan manusia adalah tugas semua manusia dan harus dilanjutkan oleh setiap generasi mendatang.

Bagikan di:

Artikel dari Penulis