Mahkamah Mahasiswa: Wajah Baru Demokrasi Kampus dan Pilar Keadilan

Mahkamah Mahasiswa: Wajah Baru Demokrasi Kampus dan Pilar Keadilan – Jelang Pemilihan Raya, dinamika politik di kampus sering kali memanas. Sebagai ajang pemilihan pemimpin lembaga eksekutif, Pemilihan Raya kerap memunculkan potensi permasalahan dan konflik. Berkaca pada situasi politik nasional, praktik seperti kecurangan dan ketidaksesuaian prosedur juga sering menjadi perhatian. Untuk menangani konflik semacam ini, diperlukan sebuah lembaga yudikatif yang dapat berfungsi sebagai pihak penyelesai sengketa terkait Pemilihan Raya.

Mengapa Perlu Ada Mahkamah Mahasiswa dalam Pemira?

Dinamika politik mahasiswa, terutama dalam Pemira, sering diwarnai konflik dan sengketa. Beberapa jenis permasalahan yang kerap muncul mencakup kecurangan dalam pemilihan, seperti penggelembungan suara atau manipulasi daftar pemilih tetap (DPT), serta tuduhan keberpihakan panitia yang seharusnya netral. Selain itu, perselisihan antar kandidat juga menjadi hal lumrah, seperti kampanye hitam (black campaign) dan pelanggaran etika kampanye.

Baca juga: Suka Duka Ikut Organisasi Kampus

Tidak hanya itu, konflik administrasi sering memicu ketegangan, misalnya terkait diskualifikasi kandidat atau persoalan DPT yang tidak valid. Ketidakpuasan atas hasil pemilihan juga menjadi salah satu pemicu terbesar sengketa dalam Pemira. Dalam banyak kasus, pihak yang merasa dirugikan menolak hasil pemilihan dan mempersoalkan prosesnya.

Untuk menangani semua persoalan ini, keberadaan Mahkamah Mahasiswa menjadi sangat relevan. Lembaga yudikatif ini memiliki peran strategis dalam menyelesaikan konflik secara adil dan mengembalikan stabilitas proses demokrasi kampus. Tanpa lembaga ini, penyelesaian konflik sering kali tidak tuntas atau menimbulkan polemik baru. 

Peran dan Wewenang Mahkamah Mahasiswa

Pentingnya pembentukan Mahkamah Mahasiswa muncul dari ketiadaan dasar hukum atau regulasi yang tegas dan mandiri dalam menyelesaikan konflik internal di universitas. Lembaga mahasiswa ini berperan sebagai lembaga dengan putusan final, sehingga sengketa yang diajukan ke sana tidak dapat diajukan banding lagi. 

Lembaga yudikatif seperti Mahkamah Mahasiswa tidak hanya tentang memutuskan hasil final Pemilihan Raya, seperti sengketa ormawa. Namun, ada beberapa kewenangan lain. Seperti yang kita tahu, pada 2006 Universitas Indonesia membentuk Mahkamah Mahasiswa dari Artikel Mahkamah Mahasiswa UI.

Mahkamah Mahasiswa Universitas Indonesia memegang sejumlah kewenangan yang penting dalam menjaga stabilitas organisasi kemahasiswaan di tingkat universitas. Pertama, lembaga ini berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara di tingkat awal sekaligus akhir, khususnya dalam menguji kesesuaian undang-undang dengan konstitusi Ikatan Mahasiswa Universitas Indonesia (IMUI). Kedua, Lembaga ini berfungsi sebagai penyelesai sengketa antara organisasi mahasiswa di tingkat universitas. Ketiga, lembaga ini bertugas menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan keanggotaan dalam Ikatan Keluarga Mahasiswa UI. Selain itu, Mahkamah juga memiliki tanggung jawab untuk memutus sengketa terkait Pemilihan Raya di lingkungan universitas. Terakhir, Lembaga ini juga memberikan pendapat hukum kepada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) apabila terdapat isu yang berkaitan dengan peraturan atau kebijakan dalam Ikatan Keluarga Mahasiswa UI.

Baca juga: Tipe-Tipe Orang dalam Organisasi, Kamu yang Mana?

Mahkamah Mahasiswa dan Penyempurnaan Demokrasi Kampus

Menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka merupakan elemen penting dalam menciptMenyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka merupakan elemen penting dalam menciptakan keseimbangan kekuasaan, termasuk di lingkungan kampus. Dalam konsep Trias Politica yang digagas oleh Montesquieu, keseimbangan antara lembaga eksekutif dan legislatif memerlukan kehadiran lembaga yudikatif. Lembaga ini berfungsi untuk menegakkan hukum, melakukan uji materi, menyelesaikan sengketa, serta menetapkan atau membatalkan aturan hukum yang bertentangan dengan konstitusi.

Gagasan pembentukan lembaga yudikatif seperti Mahkamah Mahasiswa di kampus tentu akan menimbulkan pro dan kontra, terutama di kalangan mahasiswa. Salah satu pertanyaan yang mungkin muncul adalah: “Jika Mahkamah Mahasiswa hanya bertugas menyelesaikan sengketa, lalu apa perannya ketika tidak ada sengketa dan keadaan hukum stabil?” Pertanyaan ini secara tidak langsung menguji relevansi dan fungsi lembaga ini.

Meski begitu, beberapa universitas lain telah menggagas konsep yudikatif yang menarik untuk dicontoh. Misalnya, pada tahun pertama pembentukannya, Mahkamah Mahasiswa dapat menjalankan beberapa program sebagai berikut:

  1. Mengadakan kampanye pengenalan Mahkamah Mahasiswa,
  2. Menyelenggarakan Sekolah Yudikatif, yang menjadi pelatihan wajib bagi calon delegasi yang ingin menjadi hakim di Mahkamah Mahasiswa, 
  3. Melaksanakan sosialisasi peraturan kepada mahasiswa. 

Selain bertugas menyelesaikan sengketa antar organisasi mahasiswa, Mahkamah Mahasiswa juga memiliki kewenangan sebagai lembaga untuk menafsirkan aturan yang berlaku.

Pembentukan Mahkamah Mahasiswa kini menjadi kebutuhan mendesak di kampus untuk merespons tantangan dalam dinamika politik mahasiswa yang kerap diwarnai konflik dan sengketa. Permasalahan seperti kecurangan dalam Pemira, ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan, hingga konflik antar organisasi kemahasiswaan menunjukkan pentingnya lembaga yudikatif yang independen.

Lembaga yudikatif di ranah mahasiswa ini memiliki peran strategis dalam menjamin keadilan dan menjaga stabilitas demokrasi kampus melalui penyelesaian sengketa yang bersifat independen dan final. Lebih dari itu, lembaga ini berkontribusi dalam memperkuat prinsip Trias Politica dalam tata kelola organisasi kemahasiswaan, menjadi penyeimbang antara eksekutif dan legislatif. Fungsi lainnya meliputi edukasi hukum melalui pelatihan yudikatif, sosialisasi peraturan, dan penafsiran aturan konstitusi kemahasiswaan. 

Dengan wewenang dan kedudukan yang jelas, Mahkamah Mahasiswa dapat menjadi elemen penting dalam penyempurnaan demokrasi kampus. Meskipun tantangan implementasi, seperti pro-kontra dan penyesuaian struktur, perlu diantisipasi.

Bagikan di:

Artikel dari Penulis