Biografi Tan Malaka: Pejuang Kemerdekaan yang Terlupakan – Tan Malaka adalah salah satu tokoh kemerdekaan Indonesia yang hidupnya penuh dengan lika-liku perjuangan dan keteguhan prinsip. Pejuang dengan nama asli Ibrahim Datuk Sutan Malaka ini lahir pada 2 Juni 1897 di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, ia menorehkan jejak sejarah yang mendalam dalam perjuangan Indonesia. Meskipun namanya sempat diabaikan dalam sejarah resmi, ia dikenal sebagai sosok radikal yang berani memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Berikut ini biografi Tan Malaka yang merangkum perjalanan hidupnya, lengkap dengan tahun-tahun penting serta orang-orang yang terlibat dalam perjalanan hidupnya.
Profil / Biodata Tan Malaka
Nama Lengkap | Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka |
Tempat Lahir | Pandam Gadang, Suliki, Gunuang Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Hindia Belanda |
Tanggal Lahir | 2 Juni 1897 |
Almamater | Rijkswijkschool, Haarlem, Belanda |
Pekerjaan | Guru, politikus |
Ayah | HM. Rasad Caniago (Seorang buruh tani) |
Ibu | Rangkayo Sinah Simabur (Putri seorang tokoh terpandang di desa) |
Anak | Tidak memiliki |
Agama | Islam |
Wafat | 21 Februari 1949 di Selopanggung, Semen, Kediri |
Biografi Tan Malaka
1897-1920: Awal Kehidupan dan Pendidikan di Belanda
Tan Malaka lahir dari keluarga Minangkabau yang mementingkan pendidikan. Dari kecil, ia menunjukkan ketertarikan luar biasa pada ilmu pengetahuan. Pada tahun 1908, ia mulai bersekolah di sekolah pribumi di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi), sebelum akhirnya melanjutkan pendidikannya di Kweekschool Bukittinggi pada tahun 1913. Kecerdasannya membuatnya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Belanda.
Di Belanda, ia belajar di Rijkskweekschool, sebuah sekolah keguruan di Haarlem. Di sinilah ia pertama kali berkenalan dengan ideologi Marxisme dan gagasan-gagasan sosialisme yang kuat. Ia bergaul dengan banyak aktivis dan intelektual yang memperjuangkan keadilan sosial, salah satunya Sneevliet, seorang aktivis pergerakan sosial Belanda. Pemikiran radikalnya mulai terbentuk di sini, terinspirasi oleh kondisi kaum buruh dan petani Indonesia yang tertindas oleh penjajahan Belanda.
1921-1925: Kembali ke Indonesia dan Pendirian Sarekat Rakyat
Pada tahun 1921, Tan Malaka kembali ke Indonesia. Ia bertekad untuk mempraktikkan gagasan-gagasannya dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan. Di Semarang, ia bergabung dengan Sarekat Islam yang dipimpin oleh Semaun dan Alimin. Namun, karena perbedaan pandangan, ia kemudian mendirikan Sarekat Rakyat, organisasi yang lebih berfokus pada pergerakan kelas buruh dan petani.
Sosok ini menjadi tokoh yang disegani dalam gerakan perlawanan rakyat Indonesia. Pada tahun 1925, ia menerbitkan buku kecil berjudul Massa Actie, yang memuat seruan kepada rakyat Indonesia untuk bangkit melawan penjajahan. Buku ini kemudian dilarang oleh Belanda, dan ia pun menjadi target pengawasan ketat pemerintah kolonial.
1925-1937: Pengasingan dan Perjuangan di Luar Negeri
Setelah diasingkan oleh pemerintah Belanda, Tan Malaka menghabiskan waktu bertahun-tahun di luar negeri, berpindah-pindah antara Filipina, Thailand, dan Tiongkok. Dalam pengasingan ini, ia terus berjuang untuk memperkenalkan gagasan kemerdekaan Indonesia dan membangun jaringan dengan tokoh-tokoh internasional, salah satunya adalah Ho Chi Minh, pemimpin revolusioner Vietnam.
Selama di Tiongkok, Tan Malaka juga aktif menulis dan menyebarkan ide-ide revolusionernya. Ia bekerja sama dengan tokoh-tokoh pergerakan dari berbagai negara, termasuk Mao Zedong, yang saat itu masih memimpin pergerakan rakyat Tiongkok. Persahabatan dan kolaborasinya dengan tokoh-tokoh ini semakin memperkuat tekadnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
1942-1945: Kembali ke Indonesia dan Terlibat dalam Persiapan Kemerdekaan
Pada tahun 1942, ketika Jepang menguasai Indonesia, Tan Malaka kembali ke tanah airnya dengan harapan bisa ikut berjuang secara langsung. Selama pendudukan Jepang, ia berusaha merangkul para pemuda dan tokoh pergerakan lainnya untuk mempersiapkan kemerdekaan. Salah satu pemimpin muda yang tertarik dengan gagasannya adalah Sukarni, tokoh pemuda revolusioner yang nantinya terlibat dalam peristiwa Rengasdengklok, yang mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Tan Malaka melihat peluang dari jatuhnya kekuasaan Belanda dan pendudukan Jepang yang mulai melemah. Bersama dengan kelompok pejuang lainnya, ia membentuk organisasi bernama Persatuan Perjuangan pada 1945. Persatuan Perjuangan ini memiliki tujuan yang jelas: menuntut kemerdekaan penuh tanpa kompromi.
1946-1949: Konflik dengan Pemerintah dan Kematian Tragis
Meskipun memiliki tujuan yang sama, Tan Malaka memiliki pandangan berbeda dengan beberapa tokoh kemerdekaan lainnya, termasuk Soekarno dan Hatta. Perbedaan ini menimbulkan konflik di kalangan pemimpin nasional. Ketegangan semakin memuncak saat pemerintah memilih untuk berunding dengan Belanda dalam Perjanjian Linggarjati, yang ditentang oleh Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan. Ia menilai bahwa diplomasi tidak akan memberi hasil maksimal, dan kemerdekaan hanya dapat dicapai dengan perlawanan penuh.
Pada tahun 1948, terjadi peristiwa Madiun yang melibatkan PKI, dan Tan Malaka dituduh terlibat. Meskipun tuduhan ini tidak terbukti, situasi politik membuatnya semakin terisolasi. Akhir hidupnya berakhir tragis; pada tahun 1949, ia dieksekusi tanpa proses pengadilan yang adil di Kediri, Jawa Timur. Kematian ini hingga kini masih menyisakan misteri. Beberapa saksi mengklaim bahwa ia dieksekusi karena pandangannya yang tidak sejalan dengan pemerintah saat itu.
Warisan Pemikiran dan Pengakuan Terlambat Tan Malaka
Meski sejarah resmi sempat mengabaikannya, pemikirannya diakui kembali pasca-reformasi. Tulisan-tulisannya seperti Massa Actie dan Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika) menjadi warisan intelektual yang terus dipelajari hingga kini. Buku Madilog merupakan hasil pemikiran kritisnya yang menggabungkan filsafat materialisme dan logika sebagai panduan bagi rakyat Indonesia untuk berpikir lebih mandiri dan kritis.
Seiring waktu, nama Tan Malaka mulai mendapat tempat dalam sejarah Indonesia. Pada tahun 1963, ia akhirnya diakui sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Pemikirannya tentang keadilan sosial, kemerdekaan, dan kebangsaan tetap relevan dan menjadi inspirasi bagi banyak generasi. Sosok pejuang revolusioner Indonesia ini adalah contoh nyata dari seorang pejuang yang teguh pada prinsip dan siap mengorbankan hidupnya demi kemerdekaan bangsanya.