Meredam Cemas dengan Stoic
Fenomena ini kerap terjadi ketika memasuki tengah malam. Tubuh terasa sangat lelah dan mata masih saja tetap terjaga. Pikiran mengembara entah ke mana. Rasanya ingin sekali memuntahkan semuanya dan berharap akan sedikit reda. Sayup-sayup mata ingin terpejam, tetapi takut akan detik yang terbuang. Dan tanpa disadari, kita termakan oleh asumsi kita sendiri.
Pernahkah Anda mengalami hal demikian? Tentu saja. Cemas itu wajar bagi makhluk yang berpikir. Seolah-olah kita memiliki andil penuh dalam menangani segala hal, bahkan sesuatu yang berada di luar kendali kita sekali pun. Memaksakan segala kemungkinan yang kita miliki, tanpa menyadari bahwa kemampuan manusia itu terbatas.
“Kalau orang lain bisa, mengapa saya tidak?” Ucapan yang membuat diri kita menjadi sentris terhadap pencapaian orang lain. Menjadikan orang lain sebagai poros bahwa kita harus melebihnya. Berlari pada ajang yang tak seharusnya kita ikuti. Apa yang kita dapat selepasnya? Tiada.
Meracau pada keadaan tentu tidak akan mengubah apa pun. Angan-angan masih tergantung, sedangkan umur tetap melaju tanpa kenal kompromi. Rehat. Sandarkan tubuh untuk sekejap. Awali dengan pelan-pelan dan tata ulang kembali. Barangkali rencana yang sudah tersusun sedemikian rupa berhamburan tak karuan.
Biarkan segalanya mengalir menuju ke muaranya. Yang terjadi biarlah terjadi. Mengalir bukan berarti acuh tak acuh, melainkan mengambil alih. Mengambil alih yang memungkinkan dapat kita jamah. Berusaha menyiasati jalan yang sudah kita amini sebelum memulai. Tepatnya untuk lebih berhati-hati lagi. Menyakitkan bukan, apabila terbawa arus kemudian menabrak batu tanpa kita berenang?
1. Sejarah Stoic
Ternyata pada konteks ini terdapat sebuah landasan filosofis yang tanpa disadari, kita menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ya, landasan filosofis tersebut ialah Stoic. Mungkin beberapa dari kita tidak asing dengan istilah ini.
Stoic merupakan kependekan dari stoicism. Stoicism, yang disebut juga dengan Stoa, dalam bahasa Yunani berarti beranda atau serambi. Filsafat Yunani kuno ini didirikan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM.
Sejarah ajaran filsafat ini berawal dari seorang saudagar kaya yang bernama Zeno dari Siprus. Ia berlayar membawa barang dagangan berupa pewarna tekstil mewah dari Phoenicia ke Piraeus. Namun naas, kapal yang ditumpanginya karam di tengah jalan dan membuat seluruh aset berharganya lenyap seketika.
Baca juga: Apakah “Filsafat” Haram dalam Islam?
Semasa hidupnya, ia terdampar di kota Athena nyaris dengan tangan kosong. Hingga suatu ketika, Zeno pergi ke sebuah toko buku dan menemukan buku filsafat yang menyita perhatiannya. Lalu, ia bertanya kepada penjual buku di mana dirinya bisa menemui penulis buku tersebut. Selang beberapa saat, Crates, seorang filsuf aliran Cynic yang merupakan penulis dari buku tersebut, melintas di hadapannya. Zeno pun mengikuti Crates untuk belajar filsafat darinya dan beberapa ahli filsuf lain.
Seiring berjalanya waktu, Zeno mulai mengajarkan aliran filsafatnya sendiri dan memiliki beberapa pengikut. Ia gemar mengajarkan aliran filsafatnya di sebuah teras pilar atau dalam bahasa Yunani, yaitu Stoa. Singkatnya aliran filsafat ini diberi nama Stoicism.
2. Konsep Penerapan Stoic
Secara umum, Stoicism mengajarkan tentang bagaimana cara mengatasi emosi negatif seperti kecemasan. Aliran filsafat ini menekankan hidup pada kesejahteraan dan kebahagiaan. Jadi, stoicism mengajak kita untuk mempertanggungjawabkan akan sesuatu. Ketentraman jiwa adalah kuncinya. Sebab, datangnya suatu emosi negatif berasal dari diri kita sendiri.
Aliran filsafat ini tidak bertentangan dengan ajaran agama. Justru dapat meningkatkan keimanan kita terhadap-Nya. Sebab, di dalam ajaran filsafat Stoicism diajarkan tentang bertawakal dan ikhtiar serta memasrahkan segala hal kepada-Nya. Sebagaimana yang diucapkan oleh salah satu tokoh islam: “Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku (Umar bin Khattab).”
Konsep dari penerapan filsafat ini menuntut kebijaksanaan dari dalam diri kita. Kebijaksanaan yang dimaksud seperti memprediksikan kemungkinan yang akan terjadi. Misalnya, tugas kuliah yang seabrek kemudian kita diamkan hingga batas tenggat yang sudah ditentukan. Sedangkan, kita sibuk berleha-leha pada waktu itu. Sebagai konsekuensinya, kita akan mengerjakan tugas dengan ala kadarnya atau tidak mengumpulkan sama sekali.
Cukup dengan tidak menghiraukan segala faktor yang bersifat eksternal dalam artian sesuatu yang berada di luar kendali diri kita. Berfokus pada apa yang telah kita kerjakan serta memprediksikan segala konsekuensinya. Dan berlandaskan pola pikir yang rasionalitas, maka perasaan cemas dapat kita redam.
Referensi:
Manampiring, Henry. (2019). Filosofi Teras. Kompas.
Editor: Widya Kartikasari
Illustrator: Umi Kulzum Pratiwi Nora Putri