Membacalah, Tapi Jangan Bodoh

Membacalah Tapi Jangan Bodoh

Membacalah, Tapi Jangan Bodoh

Iqra’, iqra’ dan iqra’

Berangkat dari wahyu yang pertama turun, pentingnya membaca bukan hanya berpengaruh pada penambahan wawasan dan pengetahuan pribadi, namun juga melatih fungsi indrawi, mengajak otak berpikir, bahkan juga memberi aura positif bagi psikologi seseorang. Bahan bacaan berupa buku, artikel, maupun karya sastra sudah dapat diakses dimanapun kita berada dengan menggunakan smartphone. Dengan adanya fasilitas yang memadai, membaca bukanlah perkara yang sulit, melainkan  hanya urusan kemauan.

Membaca juga dapat mempengaruhi kepribadian seseorang, maka setting dari diri sendiri sangat diperlukan untuk menyaring secara selektif apa saja bacaan yang akan dipraktikkan dalam keseharian dan apa saja bacaan yang “sebatas” dijadikan sebagai wawasan. Terutama bagi orang yang menyukai buku atau bacaan tentang: bagaimana agar, bagaimana cara, tips menjadi, dan hal-hal lain yang memberi suatu arahan tertentu untuk menyelesaikan masalah. Benarkah itu?

Ada dua jawaban terkait hal ini yang bisa kita diskusikan dalam pertanyaan tersebut. Pertama, sah-sah saja untuk membaca tulisan-tulisan tersebut untuk menambah wawasan. Isi buku itu juga “benar” secara praktik dan fungsinya, namun hanya berlaku pada si penulis saja karena tulisan tersebut bersumber dari pengalaman pribadi mereka. Singkatnya, tulisan yang berisi “tips, cara atau bagaimana menjadi” itu tak selalu bisa menyelesaikan masalah yang bermacam-macam ketika seseorang sedang mengalaminya.

Belajar dari seorang penulis buku Dilan, Pidi Baiq, yang pernah menyatakan kalimat, “Jangan tanya bagaimana cara membuat jembatan, hanya arsitek yang akan tahu jawabannya. Tapi bertanyalah bagaimana cara menyeberang sungai, karena jawaban Tarzan, kancil atau nelayan pasti akan berbeda

Dalam kalimat ini penulis menemukan adanya kekeliruan sosial dalam mencari tips, cara atau metode yang terkesan meniru orang-orang yang sudah sukses. Padahal setiap manusia mungkin memiliki cara yang berbeda untuk menyelesaikan sesuatu. Seperti contoh kalimat yang diterangkan oleh Pidi Baiq, sejatinya kalau hanya bertanya bagaimana cara membuat jembatan untuk menyeberang sungai, arsitek yang paling tahu tips dan caranya. Tetapi, berbeda halnya kalau kita bertanya pada Tarzan, mungkin ia akan bergelantungan di akar pohon untuk menyeberang sungai. Kemudian si kancil akan membodohi buaya untuk menyeberang sungai atau jawaban lain dari nelayan yang akan menaiki perahu untuk menyeberang sungai. Pada akhirnya mereka akan menyeberang sungai dengan cara yang berbeda bukan? Semuanya benar dan tak bisa disalahkan.

Banyak jalan menuju Roma, begitu peribahasanya. Maka, dalam belajar pun banyak berbagai cara yang bisa ditempuh seseorang, mungkin dengan mendengarkan musik, menyendiri, menaiki kendaraan umum atau semacamnya. Semuanya keren. Yang tidak keren adalah yang malas belajar dan menyalahkan kondisi di sekitarnya.

Nabi Muhammad SAW juga mengajari manusia dengan berbagai metode, baik itu dengan cara berkisah, diskusi, ilustrasi, dan sebagainya. Beliau memahami karakter, sifat, dan kapasitas sahabatnya yang berbeda-beda.  Berbagai macam perbedaan cara tersebut secara akumulatif akan membuat kita saling menghargai satu sama lain. Tidak saling menjatuhkan dan menyalahkan, malah menjadi suatu wawasan yang baru. Dengan ini, kita bisa memiliki dan menambah rasa syukur atas keunikan masing-masing. Sebagaimana ungkapan Emha Ainun Nadjib, “Kalau kita burung, jangan bersifat seperti semut; atau kalau kita adalah ikan, maka jangan ikut lomba terbang.”

Analogi tersebut bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu penting untuk mensyukuri keunikan yang kita punya. Dan yang terakhir, penulis juga ingin menyampaikan: karena membaca dapat memberi dampak yang sangat besar, pembaca juga harus pintar menyaring bahan-bahan bacaannya. Kita boleh terpengaruh oleh bahan bacaan kita, tetapi pengaruh tersebut bisa kita kontrol dengan pemahaman yang baik. Membacalah, tapi jangan bodoh.

Bagikan di:

Artikel dari Penulis