Tantangan Menjadi Minoritas di Tengah Kota yang Mayoritas Rival – Tak ingin menganggap tulisan ini dari pihak yang benar atau salah. Hanya menyampaikan keresahan yang terjadi dan dialami. Semoga menarik karena tak ingin ada hal yang diluar kendali terjadi. Bagaimana konsep minoritas dan mayoritas sebenarnya terjadi? Penulis hanya menyampaikan pendapat ini dengan penuh perasaan kayaknya.
Menjadi seorang mahasiswa di kota metropolitan Surabaya dengan ingar bingar para penduduknya akan rasa fanatik terhadap tim sepakbola kebanggan Persebaya Surabaya yang seakan menyatu dengan budaya. Penulis sendiri tak mempermasalahkan itu, malah sangat mengagumi loyalitas dan kebanggaan yang begitu tinggi terhadap tim yang didukungnya. Hanya saja permasalahannya, menjadi minoritas di sini cukuplah bikin ketar-ketir hehe…
Sedari kecil memiliki orang tua yang pernah hidup di kota seberang Malang, menjadikan diri ini sebagai seorang fans Arema sejak umur 7 tahun. ISL 2009 menjadi tahun pertama kecintaan terhadap tim asal Malang ini. Yang dulunya tak suka sama sekali dengan ingar bingar olahraga sepakbola yang nampak sangat membosankan. Bahkan lihat orang main PS 2 saja langsung pindah kalau gim yang dimainkannya adalah Winning Eleven.
Sedikit keresahan penulis menjadi minoritas di kota yang mayoritasnya adalah kota rival tim yang dibela. Enggak ada salahnya kan? malah sangat senang. Karena dengan begitu saya berbeda dengan yang lain. Tak sendiri, ada juga teman lain yang sama halnya mendukung tim rival ibu kota Jawa Timur ini.
Seperti kata mas Pandji Pragiwaksono yang dikutip dari buku Purple Cow karya Seth Godin “Sedikit lebih beda, lebih baik daripada sedikit lebih baik.” Yah benar sih mungkin untuk yang sudah tahu buku ini dan sang penulis. Memang tema yang diangkat dalam buku ini adalah dunia bisnis marketing.
Tapi ketika coba menerapkan kalimat tersebut, saya rasa bisa cocok dalam segala aspek kehidupan. Manfaat yang langsung bisa diambil adalah orang-orang jadi lebih mudah mengenal diri ini. Yah karena berbeda, meski memang semuanya me-roasting wkwk.
Tak apa, karena mental penulis tak selemah itu. Dari hati terdalam pun rasa benci sama sekali tak ada. Apa gunanya permusuhan di luar lapangan? Biarlah masalah diselesaikan di dalam lingkup profesionalitas dalam lapangan. Setidaknya penulis juga tak ingin mencari gara-gara. Masih banyak yang peduli terhadap saya meski kami rival. Bercanda, bercampur dengan adu argument menjadi hal yang menyenangkan. Apa jadinya jika sepakbola Indonesia tak ada yang namanya rivalitas.
Rivalitas itu perlu, layaknya mie tanpa penyedap, hambar rasanya dunia sepakbola ini tanpa adanya rivalitas. Dan sekali lagi, rivalitas hanya ada dalam lapangan, kita layak menikmati dengan wajar batasan sportifitas dan profesionalitas. Tak ingin menyebut siapa yang memulai, siapa yang bersalah, lebih baik diam dan menjadi dewasa untuk memperkecil suasana tanpa melampaui batas rasa fanatik sampai terjadinya kekerasan dan yang lainnya.
Pakde yang sudah dari lama bekerja di Surabaya menjadikan keponakannya ini memiliki rasa kecintaan terhadap kota dan tim bola kebanggaan kota metropolitan ini, karena pernah diajak menonton langsung laga Persebaya melawan Kelantan tim asal Malaysia di Tambaksari. Namun, ketika harus memilih di antara keduanya, tak harus membuang yang satunya. Saya lebih memilih Arema karena sudah mendapatkan trofi ISL 2009.
Noh Alam Shah dkk., menjadi pemain yang keren dan menarik. Jadi, menjadi minoritas itu dapat berarti jumlah kalian lebih sedikit dari yang lain. Namun bukan berarti kalian salah. Ada tempat dimana kalian sendiri dapat menjadi mayoritas. Hanya salah tempat. Jadi jangan ragu untuk menjadi minoritas jika itu merupakan hal yang benar dan tak mengganggu orang lain. Orang lainlah yang harus dewasa memahami.
Tak hanya itu saja, keresahan penulis juga berasal dari kegiatan yang dialami dalam berorganisasi di ruang lingkup perkuliahan. Menanyakan “Kenapa kok ikut organisasi ini, itu… kok enggak yang ini aja….” But this is my choice bro. kenapa harus repot mengatur? Mengikuti organisasi yang bisa dibilang minoritas dikalangan mahasiswa setempat, I don’t know how it really is. Seakan ini hal yang aneh, padahal juga tak ada yang dirugikan bukan?
Dan sepertinya menjadi beda adalah sifat yang disukai penulis. Karena dengan berbeda karya yang dihasilkan akan lebih muncul dan lebih mudah ditemukan orang lain. Jika tak mampu tampil sedikit lebih baik, tampil sedikit lebih beda bisa menjadi solusi.
Tak ingin mengangkat tema diluar pembicaraan ini. Sebenarnya di negara kita tercinta, perihal kaum minoritas sangat dipermasalahkan dan kenapa harus ada tindakan kekerasan secara fisik maupun mental. Bukan bidang penulis untuk membahas hal tersebut karena diluar pengalaman dan keilmuan yang masih harus ditambah lagi.
Mereka kaum minoritas hanya berada dalam ruang lingkup yang harus kita toleran. Memiliki basis jumlah yang banyak jangan sampai menjadikan kita semua bisa berbuat semena-mena. Setidaknya jika memang mereka tak berbuat macam-macam dan tak menimbulkan masalah, rasa belas kasih dan saling menghargai dari sifat negara ini yang seharusnya bisa diterapkan.
Editor: Firmansah Surya Khoir
Designer: Design by Ghani