Eksistensialisme dan Kebebasan Manusia dalam Serial Drama Korea My Liberation Notes

my liberation notes

Eksistensialisme dan Kebebasan Manusia dalam Serial Drama Korea My Liberation Notes – Dalam filsafat, eksistensialisme menekankan pada aspek eksistensi dan kesadaran. Bahwa sesuatu itu ada (dasein) dan sesuatu itu dapat bertindak, memilih, serta mampu mengekspresikan identitasnya secara sadar dan penuh tanggung jawab. 

Eksistensialisme mempertanyakan hakikat eksistensi, tujuan, dan kebebasan manusia. Pemahaman mengenai eksistensialisme ini didapat dari pertemuan dan pengalaman manusia dengan dunianya. Dari pertemuan dan pengalaman tersebut, terdapat suatu proses di mana manusia mulai mempertanyakan tentang eksistensi atau keberadaan dirinya. 

Filsafat eksistensialisme mengingatkan saya pada salah satu serial drakor yang pernah saya tonton, yaitu My Liberation Notes. Sesuai judulnya, drama ini menampilkan perjuangan para tokoh dalam mencari kebahagiaan dan kebebasan. 

Dalam drama ini, ada suatu fenomena yang menarik. Fenomena inilah yang mendasari tulisan ini, yaitu tentang penyakit manusia di abad 20: krisis eksistensial. 

Selain menghibur dengan alur komedi-romantisnya, drama ini juga menyuguhkan makna filosofis. Jika kita menonton drama ini dengan baik atau jika kalian pernah sedikit-banyak membaca tentang filsafat eksistensialisme, dalam serial drama ini kamu akan merasakan eksistensialisme tersebut. Saya akan membahas mengenai filsafat eksistensialisme dan filsafat yang lain di dalam drama My Liberation Notes ini. Pembahasan ini merupakan sebuah persepsi fenomenologis saya dari drama ini. 

Kehendak untuk Bebas (Free Will)

Salah satu pengertian filsafat eksistensialisme adalah free will atau kehendak untuk bebas. Salah satu karakter, Mi-jeong, selalu berusaha untuk bebas. Seperti dalam dialog saat Mi-jeong mengusulkan ide pembuatan Klub Pembebasan bersama rekannya. Ia berkata:

“Aku ingin bebas… Entah dimana terperangkapnya, tapi aku merasa seperti terkurung. Aku sama sekali tidak bisa merasa lega. Aku selalu merasa sesak. Dan aku ingin keluar dari rasa itu.”

Cuplikan drama tersebut menggambarkan bagaimana Mi-jeong mengalami apa yang disebut sebagai “krisis eksistensial.” Kegagalan Mi-jeong dalam memaknai kehidupan dan oleh karenanya ia terjebak di dalam apa yang disebut sebagai faktisitas. 

Faktisitas, menurut pengertian Martin Heidegger, adalah terlemparnya manusia pada fakta-fakta yang tidak pernah mereka kehendaki. Yang mana tiba-tiba manusia dipaksa hidup dalam suatu fakta atau kondisi tersebut.

Lalu, bagaimana upaya Mi-jeong untuk “bebas” yang dalam kaitan ini adalah upaya untuk bebas? Dalam dialog lain, Mi-jeong mengatakan: 

“…hanya ada pria-pria brengsek di hidupku… Aku ingin terbebas dari orang-orang brengsek dan memuakkan.” 

Selain itu, menjadi diri sendiri dan penerimaan diri menjadi upaya Mi-jeong dalam menggali kebebasannya. Dari upaya kehendak bebasnya, kemudian akan mengarahkan pada konsepsi lain dari eksistensialisme — nihilisme.

Nihilisme

Drama ini kental sekali dengan nuansa nihilistiknya. Dalam beberapa adegan dan dialog, terdapat beberapa gambaran yang cukup jelas mengenai kecenderungan nihilistik tersebut. Salah satunya dari dialog antara Gi-jeong dengan Hyeon A. Kurang lebih seperti ini:

“…tidak penting berapa nilai pria bagiku, buatlah nilai sendiri. Empat puluh bagiku sudah sangat baik.”

Maksud dari kalimat tersebut adalah bahwa tidak ada nilai universal. Nilai (kebenaran) adalah kosong. Nihil. Pemaknaan terhadap segala sesuatu, baik maupun buruk, itu bersifat relatif dan tergantung perspektif. Tidak ada yang namanya makna umum. Bagi Hyeon A, pria dengan nilai 40 pun adalah pria yang baik. Namun, berbeda dari Gi-jeong yang menghendaki pria-nya harus bernilai 60-70. 

Sama halnya dengan kebaikan dan kebencian, pun tidak bersifat universal. Semuanya nihil. 

Penegasan nihilisme lainnya di dalam drama ini adalah ketika Chang-hee yang membenci Ah-reum karena dia suka menyerocos dan memakai lensa kontak. Namun, di sisi lain Chang-hee malah menyukai Hyeon A. Padahal, ia sama seperti Ah-reum. memakai lensa kontak dan menyerocos. Haha….

Moralitas Tuan-Budak

Salah satu konsep atau gagasan moralitas tuan-budak dalam nihilisme dikonstruksikan oleh Friedrich Nietzsche. Realitas, baik itu dalam artian kebaikan maupun kebenaran, tak lain adalah hasil rekonstruksi dari para tuan pembuat. 

Pada drama ini, moralitas tuan-budak ditunjukkan dari karakter Mi-jeong. Ia selalu merasa lelah dan tidak bebas. Mengutip salah satu kalimatnya di salah satu episode, ia bilang bahwa 

…itu mengapa aku selalu merasa lelah. Itu karena aku selalu berusaha menjadi orang lain agar dianggap ada (eksis) oleh mereka….”

Nietzsche menganggap bahwa manusia harus hidup dengan moralitasnya sendiri. Menjadi diri sendiri dan tidak terkekang oleh orang lain maupun sistem dan style zaman. Menjadi manusia bebas (bermoral) dan otentik. Manusia seperti inilah yang dikatakan oleh Nietzsche sebagai Ubermensch atau superman.

Absurdisme

Konsepsi absurdisme dibawakan oleh Albert Camus. Kata Camus, ”hidup ini absurd.” Namun, meskipun hidup ini absurd, kita harus terus mencari makna hidup tersebut dan jangan pernah lari dari realitas hidup. Carilah pemaknaan yang benar-benar berarti di kehidupan yang absurd ini.

Bicara soal absurdisme, pada hakikatnya adalah penderitaan manusia. 

Konsep absurdisme dalam drama ini tergambarkan hampir di seluruh karakter. Penderitaan hidup yang dialami oleh karakter-karakter dalam drama ini tidak terlepas dari obsesi mereka yang berlebihan untuk mencapai hasrat dan keinginan yang sifatnya tidak terbatas, seperti pasangan, materi, dan kebahagiaan itu sendiri. Justru saat mereka mengejar obsesi-obsesi tersebut, mereka menjadi tidak memiliki kehendak untuk bebas. Mereka masuk ke dalam gang buntu dan realitas semu. 

Namun, pada akhirnya, mereka menemukan kesadaran hidup. Seperti Mi-jeong yang selalu memandang hidup ini absurd dan ia selalu berusaha untuk terus mencari makna dibalik keabsurdan hidupnya. Dalam satu dialognya dengan Pak Gu, ia berkata: 

“…namun bagaikan gembala, aku terus menggiring diriku untuk menjalani hidup ini. Aku harus hidup. Meski aku tidak tahu alasanku hidup, dan aku memutuskan untuk melangkah dengan baik selama masih hidup.”

Serial drakor ini sangat menarik untuk ditonton. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari serial drakor ini, terutama tentang bagaimana cara untuk hidup bahagia. Tentang menjadi diri sendiri dan hidup secara otentik. Selain itu, unsur-unsur filosofis sangat melekat pada drama ini, khususnya filsafat eksistensialisme. 

Pada intinya kunci hidup bahagia ada pada diri individu masing-masing. Namun, jika kamu bertanya padaku bagaimana untuk hidup bahagia, maka akan kujawab:

PIKIREN DEWE!!!!


Referensi

LSF Discourse. 2021. Eksistensialisme dan Krisis Kehidupan. URL: https://lsfdiscourse.org/kolase/eksistensialisme-dan-krisis-kehidupan/ 


Editor: Widya Kartikasari

Bagikan di:

Artikel dari Penulis