Katakan Tidak pada No Tobacco Day! – Merokok itu nikmat. Wajar saja jika Indonesia menjadi surga perokok ketiga setelah India dan Cina. Data Riskesdas menyebutkan bahwa perokok laki-laki di atas 15 tahun mencapai 62,9% dan menjadi angka perokok laki-laki tertinggi di dunia. Indonesia patut berbangga dengan angka perokok anak-anak dan remaja di bawah 18 tahun yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Karenanya, kita akan mudah menjumpai kaum pengisap rokok di berbagai sudut area publik. Meskipun aturan Kawasan Tanpa Rokok sudah terpampang, perokok tidak perlu sungkan merokok di pelataran masjid, di rumah-rumah makan, serta di kendaraan umum. Tidak mengapa jika asap rokok tersebar di hadapan kaum lemah, yakni warga usia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak. Tenang saja, jarang orang yang berani menegur, kok.
Kenapa Merokok Begitu Nikmat?
Merokok menjadi nikmat karena setiap batang rokok mengandung nikotin. Nikotin inilah yang menyebabkan kecanduan. Rasa candu membuat seseorang ketergantungan terhadap sesuatu. Apa pun kendala yang menghadang akan mereka terjang.
Harga rokok yang semakin hari semakin melangit menjadi urusan kecil. Sebab rokok merupakan prioritas utama dalam budget harian para perokok. Bahkan, tak jarang rokok menggeser posisi kebutuhan pokok yang harganya pun terus meroket. Begitu pula kebutuhan sekolah anak-anak mereka yang rela terabaikan demi terpenuhi hasrat mengisap sebungkus atau dua bungkus rokok.
Baca juga: Tidak Merokok di Lingkungan Perokok
Hitung-hitungan detail ahli ekonomi mengenai manfaat berhenti atau mengurangi merokok, kemudian menggantinya untuk kebutuhan urgen lain, tak masuk di akal kaum pengisap. Hal yang maha penting untuk dipenuhi yaitu ‘saya bisa merokok hari ini’. Tak peduli Rp20.000,00 dikeluarkan setiap hari untuk membeli batang yang dibakar lalu diisap saja.
Apa gunanya memikirkan penyakit stroke, jantung koroner, darah tinggi, kanker paru dan penyakit paru-paru kronis yang dapat menyebabkan kematian. Statement itu terlampau dibuat-buat. Toh masih banyak penyebab kematian lain yang tidak bisa kita prediksi. Mereka yang tidak merokok saja banyak yang meninggal karena TBC, demam berdarah, kecelakaan lalu lintas, dan penyebab lainnya. Jelas merokok tidak berhubungan langsung dengan kematian. Perokok bisa saja, kan, mati akibat kecelakaan motor? Kalau memang sudah ajal, semua juga akan mati.
Si perokok tidak usah juga mempertimbangkan untuk berhenti merokok karena respons tubuh akan membuat tidak nyaman. Sebagaimana zat adiktif lain, nikotin membuat semacam gejala “sakaw” dalam versi ringan. Kepala terasa pusing, mulut kering, cemas, dan gelisah bahkan emosi yang mudah tersulut. Siapa yang bisa menahannya?
Sekuat-kuatnya niat berhenti, jika tidak bisa menahan diri, sama saja bohong. Sebaik-baik keluarga mendukung, kalau diri sendiri masih ragu-ragu, apa gunanya? Puluhan kisah kesuksesan orang yang berhasil stop merokok, bak dongeng pengantar tidur belaka.
Bagaimana dengan Penderitaan Perokok Pasif?
Belum tentu perokok pasif akan turut terdampak akibat asap rokok yang ia hirup. Masih ada sekitar 70% yang survive. Sisanya, hanya 22-28% yang berisiko terkena stroke, penyakit kardiovaskular, juga jantung koroner. Dari lima orang perokok pasif, satu orang saja yang mungkin terkena penyakit. Bukankah itu angka statistik yang kecil? Selama ada BPJS kesehatan, tampaknya penyakit tersebut bukan masalah besar.
Perokok pasif seharusnya bisa menghindari paparan asap rokok. Walaupun konon asap rokok berdiam 2,5 jam di udara dan menjadi residu di benda-benda sekitar, mestinya mereka bisa mengupayakan tidak menghirupnya. Mereka bisa ke luar rumah dahulu sementara kaum pengisap menebar asap di dalam rumah. Atau mereka memakai masker dobel di dalam bus, pertokoan, rumah makan, taman-taman, dan berbagai tempat yang mungkin dijumpai asap rokok. Solusi yang sederhana, bukan?
Ada baiknya perokok pasif diam saja, alih-alih mengucapkan, “Maaf, bisa tolong matikan rokok Bapak?” saat mereka terganggu. Biarkan perokok aktif makin merasa keberadaan mereka diterima dan tidak menjadi persoalan kapan dan di mana saja mereka merokok.
Biarkan Saja Tetap Merokok
Ya, biarkan saja kaum ahli isap tetap merokok. Itu bagian dari hak asasi mereka. Itu pun salah satu cara mereka meraih kenikmatan hidup yang hanya sebentar. Biarkan sepuasnya mereka mengisap lalu meniup asapnya ke mana-mana. Nanti pun mereka akan berhenti dan mati, apa pun penyebabnya.
Tetaplah merokok sebanyak yang diinginkan. Tidak perlu bersusah payah mengurangi frekuensi, apalagi berhenti merokok. Lebih mudah menghadapi risiko terkena penyakit akibat rokok dibandingkan penderitaan lahir batin karena berhenti merokok.
Slogan ‘Stop Merokok Sekarang!’ hanya omong kosong orang yang tidak pernah merasakan nikmatnya merokok. Apalagi nasihat untuk menjauhi circle perokok dan menghindarkan pemicu merokok, jelas tidak bijaksana. Demikian juga anjuran menghubungi psikolog atau dokter, jelas-jelas mempersulit diri. Kalau merokok bisa menghilangkan stres, mengapa harus mencari cara lain yang lebih rumit, kan?
Solusi lain yang menganjurkan perokok mengganti rokok elektrik atau tembakau dengan teknologi heat not burn, sama saja dengan membuang-buang uang. Meskipun katanya lagi, keduanya bisa mengurangi keinginan merokok dengan rokok biasa, tetap saja nikmat menghirup asap bakaran tembakau yang tidak tergantikan.
Jalani saja. Sejauh ini terbukti merokok masih ada manfaatnya, meskipun harus diakui ada keburukannya. Karenanya, setiap tanggal 31 Mei tidak pantas kaum pengisap mengucapkan, “Selamat Hari Tanpa Tembakau Sedunia.” But, say no to No Tobacco Day!
Referensi:
Administrator, Seberapa Besar Populasi Perokok di Indonesia?, 28 Mei 2022 https://dinkes.jakarta.go.id/berita/read/htts-2022-seberapa-besar-populasi-perokok-di-indonesia diakses pada 22 Mei 2024.
Ni Nyoman Sriwulan Pratiwi, Perokok Pasif sebagai Faktor Risiko Penyakit I Kardiovaskular dan Kematian Terkait Penyakit Kardiovaskular: Systematic Review, Jurnal Medika Udayana, Vol. 4, April, 2022, hal. 25, https://doi.org/10.24843/eum.v11i4.68471