Menggadaikan Orisinalitas dan Kreativitas kepada AI

Di sebuah kedai kopi, saya mengobrol tentang Artificial Intelligence (AI) dengan salah satu pengunjung. Ia bercerita sedang internship sebagai copywriter di sebuah komunitas kesehatan mental.  Dan, dengan percaya diri, ia mengakui selalu memakai chatbot seperti ChatGPT dalam membuat konten.

Entah dari membuat ide, konsep, outline, hingga parafrase kalimat.  Eits, tapi jangan ditelan mentah-mentah dulu. Ia tidak menggunakan ChatGPT seutuhnya untuk menyelesaikan pekerjaan. Ia hanya menggunakan ChatGPT memasak kontennya saja.

Jadi maksudnya, ChatGPT tidak digunakan sebagai sumber referensi atau daftar pustaka. Ia tetap berpatok pada jurnal internasional dan website internasional yang terpercaya seperti Verywell Mind, Psychology Today, dan Psych Central. Setelah mendapatkan datanya, barulah ia mengolahnya di ChatGPT.

Misalnya ingin menulis konten IG Story, ia akan melakukan seperti ini:

1) Menyalin bagian yang menjadi pokok pembahasan dari jurnal dan website yang ia baca, 

2) Menyuruh ChatGPT untuk membuat konten IG Story dengan perintah begini, “Tolong buatkan saya konten IG Story tiga slide (karena terlalu banyak malah jadi tidak efektif). Kontennya harus menarik dan interaktif. Gunakan kalimat yang efektif dan orang awam mudah mengerti!” Muncullah konten tersebut di hadapannya. 

Setelah itu, ia baca kembali kalimat-kalimat tersebut. Kalau misalnya kurang sreg, entah kalimat yang belum efektif atau masih sulit dipahami, ia kembali memerintah, “Kalimat ini masih jelek, terlalu panjang, orang malas membacanya. Selain itu, tulisan ini masih sulit dimengerti orang awam. Tolong parafrase ulang menjadi kalimat yang lebih efektif dan mudah dimengerti orang awam!”

Kalau belum puas? Ya ia perintah lagi, sampai ia benar-benar puas. Setelah puas, ia kirim artikel tersebut ke link Google Workspace yang sudah disiapkan atasannya. Kelar. Kerjaan beres hanya dalam waktu kurang dari satu jam. “Hebat, bukan?” tanyanya sambil tersenyum. Saya hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng kepala saja.

Kemudian saya berkata, “Hebat, ya, kemajuan teknologi sekarang. Kita jadi tidak perlu menghabiskan waktu banyak menyelesaikan pekerjaan. Habis itu bisa mengerjakan pekerjaan lain.”

“Iya, benar, sehabis itu saya bisa mengerjakan tugas kuliah, tugas organisasi, dan menulis opini di media massa,” jawabnya datar.

“Dengan menggunakan ChatGPT?” tanyaku penasaran. Kemudian ia mengangguk. 

Gila! ia menulis opini memakai ChatGPT. Jangan-jangan, selama ini saya tertipu dengan beberapa teman saya yang hampir setiap minggu bisa menulis opini. Sebetulnya saya iri. Teman-teman saya bisa produktif sekali. Saya jadi berspekulasi (lebih tepatnya suudzon) teman-teman saya juga melakukan hal yang sama.

Setelah hening beberapa saat dengan muka yang menjadi murung, orang itu kembali menimpali. “Tapi saya tidak bahagia. Saya merasa membohongi kemampuan saya ke diri saya sendiri, dan ke banyak orang. Jadi beban moral.”

Setelah saya telusuri, ternyata ia mengakui kalau dirinya sudah mengalami ketergantungan dengan ChatGPT. Kalau tidak memakai, ia tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya, dan tidak bisa membuat opini. Mampus! Makan tuh hidup tidak bahagia! Bukankah bentuk ini penipuan baru?

“Demi eksistensi. Agar saya diakui hebat oleh teman-teman saya, bahkan oleh orang banyak,” orang itu menambahkan. 

Menurut saya, ia telah salah kaprah tentang eksistensi dirinya. Ia malah menjauhi dirinya sendiri. Ia tidak bisa menjadi manusia se-pure-pure-nya (seutuhnya).

Saya mengakui, keinginan untuk diakui oleh orang lain adalah hal yang manusiawi. Namun, sayangnya, ia memperoleh pencapaian itu dengan cara yang instan. Wajar saja ia merasa tidak bahagia. Seharusnya, pengakuan tersebut didapatkannya dari usaha dan kemampuan yang nyata. Bukan hasil manipulasi ChatGPT.

Menulis opini seharusnya menjadi aktualisasi diri. Atau gampangnya, menjadi proses untuk mengekspresi dan memuaskan diri. Akan tetapi, hal tersebut juga harus dilakukan dengan jujur. Bergantungnya ia dengan ChatGPT menghilangkan rasa kepuasan. Rasa yang seharusnya menjadi bagian dari aktualisasi diri.

Sebenarnya, tanpa sadar ia telah melakukan bunuh diri. Yaitu menjauhi kepuasan dirinya sendiri. Ia melenyapkan sentuhan personal dan emosi yang seharusnya hadir ketika menulis opini. Ia lupa bahwa setiap kata, kalimat, dan paragraf yang dibuat adalah hasil proses kreatif. Ini seharusnya merupakan ekspresi dan orisinalitas dalam diri kita sebagai manusia. 

Bagaimana Cara Mengatasi ini Semua?

Satu tahun yang lalu, University of Montana menerbitkan hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa AI mampu melampaui 1% tingkat kreativitas manusia. Penelitian ini berdasarkan alat ukur Torrance Test of Creative Thinking (TTCT). 

Dalam penelitian tersebut, AI–khususnya ChatGPT–dinilai mampu menghasilkan cerita yang tidak hanya menarik, tapi juga interaktif. Secara kasat mata, hal ini sangat bermanfaat bagi penulis amatiran, terutama bagi mereka yang secara alami dan teknis memang tidak memiliki kemampuan menyusun kalimat yang enak dibaca.

Dengan hadirnya AI, mereka bisa melakukan perintah untuk melakukan parafrase. Dan hasilnya, kalimat yang efektif dan mudah dimengerti orang awam pun, dengan mudah mereka dapatkan. Ini serius! Asalkan mereka bisa membuat perintah dengan baik dan benar kepada AI.

Namun, terlepas dari manfaat yang ditawarkan, timbullah pertanyaan dalam benak saya, “Di era digital ini, di manakah letak nilai dan kedudukan manusia itu sesungguhnya? Bukankah sudah sejak dulu, manusia dikarunia sebagai makhluk yang suci karena memiliki  kemampuan akal budi?”

Nah, ketika kecerdasan buatan mampu meniru segala aspek-aspek kreativitas manusia, saya memiliki ketakutan bahwa kemampuan kreativitas manusia yang sesungguhnya akan terpinggirkan. Apalagi, ditambah masyarakat kini yang lebih mendambakan hasil akhir, daripada prosesnya.

Lalu, untuk mengatasi hal tersebut, izinkan saya memberikan sebuah moto hidup untuk menutup tulisan ini. “Selama masih berurusan dengan aktualisasi diri, jangan gadaikan jiwa dan raga kita kepada AI. Karena di situlah letak kepuasan hidup berada. Di mana kita bisa melakukan sesuatu hal dengan sejujur-jujurnya. Semurni-murninya. Tanpa mengkhianati kemampuan diri kita sendiri!”

Annalee Newitz, seorang penulis fiksi ilmiah dan jurnalis, menyatakan juga pernah mengatakan bahwa penulisan kreatif adalah bentuk komunikasi antara manusia. Bahkan jika hasil tulisan itu tidak bagus-bagus amat. 

Yaps, selama kita menulis dengan mengoptimalkan seluruh kemampuan nyata kita, tujuan komunikasi tersebut sudah tercapai. 

Bagikan di:

Artikel dari Penulis