7 Fakta Menarik tentang Robert Oppenheimer, Bapak Bom Atom

7 Fakta Menarik tentang Robert Oppenheimer, Bapak Bom AtomRobert Oppenheimer dikenal dunia sebagai “Bapak Bom Atom” karena perannya dalam Proyek Manhattan, yang menghasilkan bom atom pertama di dunia. Namun, selain jasanya dalam pengembangan senjata nuklir, ia adalah pribadi yang kompleks dengan banyak sisi menarik. Oppenheimer tidak hanya seorang ilmuwan hebat tetapi juga seorang pemikir dan seniman dalam caranya sendiri. 

1. Menguasai Banyak Bahasa: Sang Poliglot

Salah satu hal yang membuat Oppenheimer begitu istimewa adalah kemampuannya menguasai berbagai bahasa. Oppenheimer tidak hanya fasih berbahasa Inggris, tetapi juga menguasai bahasa Latin, Yunani, Jerman, Prancis, Belanda, hingga bahasa kuno seperti Sansekerta. Kemampuannya dalam berbahasa tidak hanya menunjukkan kecerdasan linguistiknya, tetapi juga kecintaannya pada pengetahuan dan sastra dari berbagai budaya.

Salah satu momen terkenal dalam hidupnya terkait dengan keahliannya dalam bahasa terjadi setelah uji coba bom atom di New Mexico. Oppenheimer mengutip sebuah ayat dari kitab Hindu Bhagavad Gita, yaitu, “I am become Death, the destroyer of worlds” (Aku menjadi Kematian, penghancur dunia). Kutipan ini mencerminkan perasaan campur aduk yang ia rasakan atas keberhasilan bom atom, sebuah pencapaian ilmiah yang membawa konsekuensi destruktif.

2. Perasaan yang Berbeda terhadap Julukan “Bapak Bom Atom”

Meski dijuluki “Bapak Bom Atom,” Oppenheimer sendiri memiliki perasaan yang rumit terhadap gelar ini. Di satu sisi, ia bangga dengan pencapaian ilmiah timnya dalam Proyek Manhattan. Namun, di sisi lain, ia merasa terbebani oleh dampak senjata nuklir yang telah mereka ciptakan, terutama setelah melihat kehancuran di Hiroshima dan Nagasaki.

Oppenheimer berharap dirinya dikenang bukan hanya sebagai pencipta bom atom, tetapi juga sebagai seorang ilmuwan yang peduli pada etika sains. Setelah Perang Dunia II, ia terlibat aktif dalam mengadvokasi pengawasan senjata nuklir dan berharap agar senjata ini tidak disalahgunakan. Sikapnya ini menunjukkan bahwa meski berjasa dalam dunia militer, ia tidak pernah bermaksud agar karyanya digunakan untuk menimbulkan kehancuran massal.

3. Ikon Budaya Populer

Robert Oppenheimer adalah sosok yang menginspirasi banyak karya budaya populer. Kutipannya dari Bhagavad Gita, “I am become Death, the destroyer of worlds,” telah digunakan dalam berbagai film, buku, dan lagu, menggambarkan konflik etis yang dirasakannya. Di dunia perfilman, sosoknya kerap diangkat sebagai tokoh sentral dalam cerita tentang sains, etika, dan kekuatan yang tidak terkontrol. Bahkan, salah satu film baru-baru ini mengangkat kisah hidup Oppenheimer, yang menggambarkan perjalanan hidup dan perjuangannya dalam menghadapi dilema moral atas karyanya.

Kehadiran Oppenheimer dalam berbagai media menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar ilmuwan biasa, tetapi ikon yang merepresentasikan dilema moral yang dihadapi oleh banyak ilmuwan modern. Kutipannya telah menjadi simbol bagi dampak teknologi yang sulit diatasi dan menjadi pengingat akan pentingnya tanggung jawab dalam sains.

4. Kecintaan pada Sastra

Selain menjadi ilmuwan, Oppenheimer juga memiliki ketertarikan yang mendalam pada sastra. Ia sering membaca karya sastra dari berbagai tradisi, termasuk karya Shakespeare dan puisi-puisi klasik. Kecintaannya pada sastra membentuk pandangan hidupnya yang reflektif dan membuatnya lebih peka terhadap makna mendalam dari pencapaiannya sebagai ilmuwan.

Bagi Oppenheimer, sastra adalah jendela menuju pemahaman yang lebih luas tentang kehidupan dan kemanusiaan. Ia percaya bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya tentang memecahkan masalah, tetapi juga memahami implikasi dari penemuan tersebut terhadap manusia. Ketertarikannya pada sastra menunjukkan sisi humanis dari dirinya dan membantu kita memahami mengapa ia begitu gelisah tentang penggunaan senjata nuklir.

5. Hubungan yang Rumit dengan Pemerintah Amerika Serikat

Hubungan Oppenheimer dengan pemerintah Amerika Serikat tidak selalu harmonis. Setelah perang, ketika persaingan senjata nuklir antara AS dan Uni Soviet memanas, Oppenheimer menentang perlombaan senjata nuklir dan bahkan secara terbuka menolak pengembangan bom hidrogen, yang lebih kuat dari bom atom.

Pandangan ini membuat pemerintah Amerika curiga bahwa Oppenheimer memiliki kecenderungan politik yang membahayakan keamanan negara. Ketidaksetujuan ini akhirnya berujung pada pencabutan izin keamanan Oppenheimer pada tahun 1954, sebuah tindakan yang membuatnya tidak bisa lagi terlibat dalam proyek-proyek militer. Meski ia telah berjasa besar bagi negara, perbedaan pendapat membuat Oppenheimer tersingkir dari dunia penelitian militer. Hal ini mencerminkan ironi hidupnya sebagai pencipta bom atom yang justru dilarang terlibat dalam penelitian nuklir.

6. Kehidupan yang Dipenuhi Dilema Moral

Setelah melihat hasil karyanya menghancurkan kota-kota di Jepang, Oppenheimer mengalami konflik batin yang mendalam. Di satu sisi, ia memahami pentingnya karyanya dalam mengakhiri perang, tetapi di sisi lain, ia merasa bersalah atas dampak destruktif yang dihasilkan.

Ia mengungkapkan perasaannya dalam berbagai wawancara, menyatakan bahwa para ilmuwan telah “mengetahui dosa” yang mereka perbuat dengan menciptakan senjata pemusnah massal. Setelah perang, Oppenheimer berusaha memperjuangkan kontrol ketat atas senjata nuklir, tetapi usahanya sering kali mendapat tentangan dari pihak militer dan pemerintah yang lebih fokus pada kekuatan pertahanan.

7. Dedikasi terhadap Pendidikan dan Sains

Meski banyak menghadapi kesulitan, Oppenheimer tetap berkomitmen terhadap pengembangan sains dan pendidikan. Setelah karier militernya berakhir, ia kembali ke dunia akademis dan menjadi direktur di Institute for Advanced Study di Princeton, di mana ia bekerja bersama para ilmuwan ternama seperti Albert Einstein. Ia tetap menjadi mentor bagi generasi muda ilmuwan dan berusaha memastikan bahwa sains tetap digunakan untuk tujuan damai.

Oppenheimer percaya bahwa sains adalah jalan menuju pemahaman yang lebih besar tentang dunia dan dirinya sendiri. Dengan kembali ke dunia pendidikan, ia berusaha menebus dampak dari karyanya dengan mendorong ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi peradaban, bukan yang merusaknya.

Bagikan di:

Artikel dari Penulis