Sebenarnya, Apakah Kebahagiaan Itu? – Saya sempat pulang dari satu wilayah paling moderat di Jawa Tengah, baik itu moderat secara geografis maupun kulturalis. Tempat yang saya maksud ialah kota toleransi peringkat wahid di Indonesia, Salatiga. Di suatu warung yang terletak di tepi sawah, entah kenapa orang pesisir seperti saya sangat menyukai melihat gunung berjejer, awan di atas padang hijau atau gemerlap lampu masyarakat lereng gunung yang terlihat indah ketika malam. Ingin rasanya saya membangun rumah di sini, duduk di teras bersama istri saya dan melihat pemandangan yang saya sukai itu, sembari menikmati lantunan azan melewati atap langit.
Sepintas saya berpikir, apakah ini mimpi dan kebahagiaan hidup saya? Lalu ketika saya pulang ke rumah asal saya di Desa Ujungpangkah Gresik, pun saya menyukai laut namun merindukan kota rantau saya. Fluktuasi dari berbagai sudut pandang yang saya alami saat ini, tidak lain karena proses pendewasaan yang saya alami. Kemudian saya terus merenung tentang satu pertanyaan, “apakah kebahagiaan itu?”.
Terkadang saya melihat di jalan raya, penduduk setempat melakukan kegiatan masing-masing. Seperti pergi ke musala, berjualan, atau bersuka ria berinteraksi dengan sesama tetangga. Ingin saya tanyakan pada mereka, apakah yang bapak ibu lakukan saat ini? Apakah anda semua sedang mencari kebahagiaan anda?
Sayangnya, banyaknya kausalitas yang mengerucut pada kata kebahagiaan menjadi suatu dinding tebal yang menghalangi diri saya dan jawaban pertanyaan “apakah kebahagiaan itu?”. Hal itu saya amati dari perilaku sosial, budaya dan kecenderungan masyarakat yang berbeda-beda. Mari kita amati masyarakat desa yang membaur, bersilaturahmi dan saling mengenal tetangganya. Mereka menghabiskan waktu dengan kegiatan keseharian dan tidak pernah terlalu lelah berpikir untuk sesuatu yang rumit. Oleh karena itu mereka menemukan kenyamanan ketika bertutur sapa atau melakukan kegiatan bersama.
Berbeda dengan masyarakat dengan kultur kota. Di mana dalam kesehariannya, jangankan untuk berkumpul, hanya untuk keluar rumah saja mereka harus berjalan jauh sebab tanah yang luas, pagar yang tinggi, dan interaksi yang minim. Namun ini bukan tentang mana yang baik atau mana yang buruk. Sebab kausalitas dan faktor perilaku yang mereka alami disebabkan pula oleh lingkungan sekitar. Dalam hal ini saya mengenggap kedua jenis masyarakat tersebut bisa saya ajukan pertanyaan, “apakah kebahagiaan itu?” dan mungkin mereka melakukan seluruh kegiatannya msing-masing demi menemukan jawaban pertanyaan itu.
Ada orang-orang yang hanya bangun pagi, berangkat ke laut atau ke sawah lalu menikmati kehidupan di warung kopi sederhana untuk pulang dengan keadaan bahagia. Ada juga orang yang harus bekerja keras memeras otak dan energi agar pulang membawa biaya hidup, dengan keadaan bahagia. Adapula orang yang terus mengalami keresahan atas pertanyaan aneh yang timbul, lalu terus menulis seperti saya.
Namun daripada itu saya sangat tahu bahwa Tuhan diam-diam menjelaskan pada saya. Bahwa alam ini terlalu luas dan Dia tidak memiliki satu hamba saja seperti saya. Setiap makhluk Tuhan memiliki jatah kebahagiaan yang tidak bisa ditulis atau dijelaskan karena banyaknya alasan dan cara yang mereka lalui. Lalu saya merasa amat kerdil, sekerdil pertanyaan saya.
Saya hanya tahu satu hal, bahwa kebahagiaan saya adalah bisa menulis. Saya jarang mengungkapkan sesuatu pada siapapun, saya sering menelan segala kepahitan hidup sendirian. Terkait pertanyaan di atas, saya belum menemukan jawabannya.
Editor: Firmansah Surya Khoir
Illustrator: Salman Al Farisi