Menghakimi Orang Lain adalah Membenci Diri Sendiri – Menghakimi orang lain bisa diartikan sebagai sebuah pemberian label atau cap yang dilakukan secara sadar, terutama mengenai kekurangan atau aspek negatif yang dimiliki seseorang.
Mengapa kita memiliki kecenderungan untuk menghakimi? Apakah memang pada dasarnya kita memiliki keinginan tersebut? Atau bagaimana?
Sejauh yang aku dapatkan dari pengalaman dan dari obrolan ala-ala orang bijak saat tengah malam di warung kopi bersama teman-teman, orang yang cenderung menghakimi biasanya adalah mereka yang pernah tersakiti. Kebencian terhadap orang-orang yang pernah melukai dan menyakiti itu menanamkan sebuah perspektif negatif bahwa kehidupan itu buruk. Hanya buruk, tidak lain selain buruk. Adagium “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” menjadi pembenaran atas tindakannya, terpatri dalam benaknya. Lantas memukul rata bahwa manusia patut dan layak dianggap sebagai spesies yang berbahaya. Oleh karena itu, untuk melindungi diri sendiri, mereka yang tersakiti ini menciptakan sistem pertahanan dengan cara menghakimi. Memberi label pada apa yang dianggapnya layak untuk dihakimi.
Begitulah kiranya apa yang dapat kupahami dari percakapan ala-ala orang bijak tersebut.
Kecenderungan untuk menghakimi orang lain belakangan baru aku sadari ketika seseorang melakukan suatu tindakan yang menurutku jahat, maka aku akan melabelinya jahat. Pelabelan tersebut berfungsi layaknya pendeteksi api, gempa bumi, dan alat-alat pendeteksi lainnya, yakni sebagai pengingat bahwa aku akan atau sedang terancam. Alhasil, aku pun bisa bersiaga serta waspada melindungi diri, melakukan upaya mitigasi agar selamat. Walau mungkin tidak sepenuhnya selamat, aku bisa meminimalisir dampak yang dihadirkan. Hal ini pun kuanggap manusiawi dan wajar. Tidak ada salahnya.
Suatu upaya melindungi diri sendiri itu baik, bukan?
Akan tetapi, pelabelan tersebut jika ditilik lebih dalam lagi, terdapat sesuatu yang sifatnya eksploitatif. Ketika aku melabeli seseorang itu baik, aku sebenarnya memang berkeinginan melabelinya begitu karena ia memiliki manfaat dan memberikan keuntungan padaku. Ia mampu menghadirkan rasa nyaman. Begitu pun sebaliknya, label jahat atau buruk kuberikan kepada orang yang diasumsikan akan merugikanku sebab tidak menghadirkan rasa nyaman yang kuinginkan tersebut. Mereka yang dapat aku eksploitasi adalah baik, sedangkan mereka yang tidak dapat aku eksploitasi adalah buruk. Ketidakmampuan seseorang memberikan dan menyediakan makanan serta nutrisi yang tepat bagi tumbuh kembang egoku menjadi tolak ukur kepantasan menghakimi seseorang.
Dan belakangan, aku pun sadar bahwa ada yang salah dengan caraku memandang kehidupan.
Menghakimi orang lain itu layaknya sebuah filtering yang dilakukan oleh individu dengan tujuan meningkatkan, mengembangkan, dan memperbesar egonya. Baik lewat membentuk hubungan dan mendekatkan diri kepada orang yang dilabeli baik ataupun jahat. Seperti orang yang sedang memilih makanan, ia akan menyeleksi mana yang bagus untuk diambil dan mana yang jelek untuk tidak di pilih. Begitu pun dengan menghakimi sesama manusia. Namun, pada kenyataannya, manusia adalah subjek yang memiliki dan berhak menentukan pilihan-pilihannya sendiri berdasarkan nilai-nilai moral dan kebiasaan-kebiasaan tertentu yang telah melekat padanya. Oleh karena itu, kurang tepat apabila seseorang melabeli orang lain baik atau buruk hanya berdasar pada satu nilai moral saja.
Orang-orang yang suka melabeli seperti itu biasanya akan menjadi semakin egois, narsis, dan melihat dunia dengan kacamata kuda. Apa yang menurutnya baik adalah apa-apa yang memberikannya keuntungan atau bermanfaat baginya. Dan apa yang menurutnya buruk adalah apa-apa yang memberi kerugian baginya. Ia akan semakin terputus dari realitas objektif karena telah tertelan dan terikat dalam pusaran perspektif subjektifnya sendiri tanpa sudi melihat sisi objektifnya.
Ketika menghakimi orang lain, ia sebenarnya sedang menghakimi dirinya sendiri. Ia membenci siapa pun karena ia membenci fakta bahwa dirinya pernah dilukai oleh orang lain. Untuk itu, kesadaran bahwa diri sendiri juga dapat salah merupakan langkah yang berpengaruh cukup besar, signifikan dampaknya.
Tidak ada manusia yang sempurna. Kita bisa menghakimi siapa saja karena itu yang sebenarnya ada dalam benak kita. Itu yang sebenarnya kita inginkan. Ini mencerminkan kacamata keburukan yang kita gunakan. Akui dan lepaskan dulu kacamata itu, barangkali kita dapat melihat dunia dengan lebih jelas. Evaluasi diri yang benar akan mengarahkan kita dan menghasilkan perspektif yang lebih akurat mengenai orang lain serta kehidupan.
Penerimaan diri menjadi kunci. Menyadari dan mengakui bahwa hidup itu memang pahit adalah suatu langkah kecil yang berdampak besar di kemudian hari. Keterusterangan akan rasa sakit. Kejujuran yang menyembuhkan. Barangkali.
Editor: Widya Kartikasari
Illustrator: Salman Al Farisi