Ketika Niat Tulus Tak Dinilai sebagai Kebaikan
“Innamal a’malu binniyat” merupakan suatu konsep dalam Islam yang menyatakan bahwa segala sesuatu dan perbuatan itu tergantung pada niat seseorang.
Hal ni menarik untuk dibahas, karena orang-orang juga berpendapat bahwa niat saja tidak cukup. Banyak orang yang berniat baik, tetapi niat baik tersebut dicederai dengan aksi yang tak sebaik niatnya.
Contohnya mungkin ada orang tua yang memarahi anaknya ketika sang anak hanya mendapat nilai 0 di pelajaran Matematika. Orang tua tersebut berdalih perlakuan tersebut dilakukan agar sang anak bisa lebih serius dalam belajar. Namun, sang anak bisa saja beranggapan bahwa orang tuanya tidak sayang kepada sang anak dan menyakiti hati sang anak.
Atau contoh kasus lain, ada mahasiswa yang berdemo ke DPR. Ada mahasiswa yang niat sebenarnya baik, yaitu untuk menyampaikan suara rakyat yang tertindas akibat perlakuan pemerintah yang tak sesuai janji pada masa kampanye. Namun, niat baik mahasiswa tersebut dicederai oleh tindakan mahasiswa yang tak bermoral, membuat tulisan yang sexist misalnya, atau merusak fasilitas umum.
Baca juga: Ketenaran Vincent Van Gogh yang Tertunda
Dari dua hal tersebut, secara umum kita akan menilai bahwa perlakuan orang tualah yang salah, tidak bisa mendidik anaknya dengan benar sehingga mengakibatkan sang anak trauma masa kecil. Masyarakat pun secara umum akan menilai bahwa mahasiswalah yang salah karena mereka tak bermoral bahkan sampai dianggap akalnya dangkal karena membuat negara harus merogoh kocek kembali untuk memperbaiki fasilitas yang rusak.
Atau contoh lainnya, kita punya niat yang tulus untuk menyiapkan nasi goreng pada orang yang kita sayangi, pada saat nasi goreng tersebut sudah jadi dan orang yang kita sayangi memakannya, ternyata menurutnya rasanya tidak enak bahkan sampai mengucapkan perkataan, “Dasar gak becus. Kalau gak bisa masak tuh gak usah sok-sokan masak”. Orang yang memakan nasi goreng tersebut menganggap bahwa pembuat nasi goreng salah, tak tahu diri sama sekali, bisa-bisanya masak nasi goreng padahal gak tau cara memasak.
Atau misalnya pada saat momen lebaran, kita pasti benci dengan orang-orang yang bertanya “Kapan punya mobil? Kapan kerja? Kapan nikah? Kapan punya anak?” Kita menyangka bahwa sang penanya memiliki sikap yang toxic, karena pertanyaannya seakan menyudutkan kita.
Inilah gambaran orang-orang saat ini, ketika niat tulus yang baik tidak dijadikan sebuah landasan dari nilai kebaikan. Mereka tidak pernah melihat niat tulus seseorang. Mengapa niat tulus ini tidak pernah dijadikan landasan sebagai nilai kebaikan yang benar oleh kita? Mungkin karena kita tidak pernah peduli dan bertanya sungguh-sungguh pada yang melakukannya, atau bisa jadi karena kita terlalu egois, mentransfer rasa amarah yang kepada orang disekitarnya yang bahkan mungkin tidak seharusnya dijadikan objek amarah.
Orang tua yang memiliki niat baik tadi, niatnya lurus, tujuannya untuk kebaikan sang anak. Bila niatnya sudah bagus lalu orang tua tadi diberitahu dengan cara yang baik akan pentingnya ilmu parenting untuk sang anak, bisa saja nasehat tentang pentingnya ilmu parenting ini akan diterima baik oleh orang tua.
Atau mahasiswa yang demo, niatnya baik untuk kepentingan rakyat, tapi bila tindakannya salah, lalu kita nasehati dengan sebaik mungkin, bisa saja mahasiswa tersebut akan sadar bahwa perlakuannya memang salah. Bagaimana bila kita menasehati mahasiswa tersebut dengan cara tidak manusiawi? Mungkin mahasiswa tadi tidak akan pernah mau lagi berjuang untuk membela rakyat, karena nyatanya rakyatnya sendirilah yang membuat mereka menjadi terpuruk.
Lalu peristiwa tidak enaknya nasi goreng misalnya, karena dicaci maki seperti itu mungkin saja pembuat nasi goreng tadi tidak akan pernah lagi belajar untuk membuat nasi goreng atau bahkan menjadi kesal dengan orang yang mengejeknya. Yang tadinya punya niat tulus menjadi benci kepada sang kekasih yang langsung menjatuhkan mentalnya.
Atau misalnya saudara kita yang menanyakan hal-hal yang toxic, kita jadi benci mereka, padahal mereka tidak sadar akan anggapan kita. Mereka mungkin memiliki niat tulus ingin memulai sesuatu obrolan denganmu, tetapi tidak tahu caranya seperti apa.
Coba kita balik kasusnya, bagaimana jika ada orang yang niatnya tidak baik tapi dia melakukan perlakuan yang kita anggap baik.
Misalnya ada orang yang mencalonkan diri untuk masuk ke ranah politik, tapi niatnya bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi hanya untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Niat tersebut nyaris tak terlihat karena saat kampanye dia melakukan sesuatu hal yang baik, misalnya bagi-bagi sembako, beribadah setiap hari di masjid, dll. Kita cenderung hanya melihat aksi dibandingkan niat seseorang tersebut.
Atau kita temukan kisah lain dalam hadits nabi. Dari Abu Hurairah r.a, Nabi saw. Bersabda,
“Seorang laki-laki yang mempelajari suatu ilmu dan membawa Al-Qur’an dibawa dan ditampakkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Dan ia mengenalnya. Kemudian ia ditanya, ‘Apa yang telah kamu perbuat sehingga mendapatkan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab ‘Aku telah mempelajari suatu ilmu dan mengajarkannya. Dan Aku telah membaca Al-Qur’an demi kamu.’ Kata Allah, ‘Kamu bohong. Kamu mempelajari ilmu supaya kamu dipanggil alim. Dan kamu membaca Al-Qur’an supaya disebut qari’. ‘Sungguh telah di katakan’, kemudian diperintahkan kepadanya lalu ia diseret dengan muka di tanah, hingga kemudian dilemparkan ke neraka…”
Lihatlah, ternyata bila kita bandingkan dengan niat yang baik, tapi aksinya jelek dengan niat buruk, tapi aksinya terlihat baik lebih parah mana sebenarnya?
Beginilah kita saat ini, hanya menilai dari apa yang kita lihat saja, padahal ada yang lebih inti daripada kebaikan tersebut, yaitu ketulusan hati. Ketulusan hati ini jarang diungkapkan sebagai hal yang baik dan benar oleh kita. Kita hanya menilai dari yang tampak di depan mata.
Baca juga: Mengulas Toleransi dari Buku Nasihat-Nasihat Keseharian
Mari mulailah untuk tidak langsung menilainya tak baik, tapi lihat dan tanyakan lagi apa niat sebenarnya? Nasihatilah dengan baik jika perlakuannya salah, bukan dengan langsung menjatuhkan atau bahkan membenci orang yang kita anggap toxic, padahal mungkin niatnya tidak seperti itu.
Walaupun penulis beranggapan bahwa kita pun perlu untuk meneguhkan niat yang baik dan disertai pula dengan perlakuan yang baik. Jika kedua hal tersebut dilakukan dan dilandasi dengan niat karena Tuhan (bukan untuk ajang pamer agar terlihat baik di mata orang), InsyaAllah sempurnalah kebaikan niat dan ketulusan aksi yang dilakukannya.
Mungkin ini memang susah, melakukan niat yang baik dengan aksi yang tepat, tapi percayalah, kita banyak menemukan pola ini pada mereka yang berniat tulus untuk mewakafkan dirinya, mengorientasikan dirinya semata-mata hanya untuk menjadi hamba yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Tirulah niat dan perlakuan baik tersebut, karena nyatanya dunia ini fana, hanya sementara, dan akhiratlah tempat keabadian kita. Sudahkah kita hari ini mengubah niat tulus karena-Nya?
Editor: Widya Kartikasari
Illustrator: Made Mirah